Minggu, 04 November 2012

Pdt. Rudy Sirait, S.Th, MA.CE - Bekerja Rangkap, BolehKah?

Bekerja Rangkap, Bolehkah?
(Refleksi Injil Matius 6:24)


Syalom Pak Rudy Sirait... Ijinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Julius Antonio. Asal saya dari Kupang, tetapi sudah tujuh tahun saya menetap dan bekerja di kota Jakarta. Untuk mencukupkan kebutuhan, maka saya bekerja rangkap di dua perusahaan swasta yang berbeda. Pagi hingga siang hari saya bekerja sebagai tenaga IT, lalu sore hari hingga pukul 22.00 WIB saya bekerja sebagai tekhnisi.
Kemarin saya merenungkan firman Tuhan dalam Matius 6:24, yang berbunyi seperti ini: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Jujur saja, setelah membaca ayat ini saya agak sedikit bingung dan bertanya dalam hati, apakah salah bila saya bekerja rangkap? Sepertinya, saya tidak pernah membeda-bedakan etos kerja saya, baik pada perusahaan yang satu maupun yang lainnya. Saya bekerja dengan semangat dan sepenuh hati. Apakah ada indikasi bahwa perkataan Yesus dalam ayat ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi dunia kerja saat ini? Mohon penjelasannya pak Rudy. Terima kasih banyak. Tuhan memberkati pak Rudy sekeluarga (Julius Antonio - Jakarta).

Syalom juga pak Julius. Pertanyaan anda sangat baik dan saya bangga karena di tengah kesibukan kerja yang padat, anda masih punya waktu untuk merenungkan firman Tuhan. Saya menaruh respek karena anda berusaha menyelidiki firman Tuhan untuk memastikan kebenarannya. Semoga jawaban saya dapat menjawab apa yang anda pertanyakan.
Untuk memahami Injil Matius 6:24, perlu dicermati secara seksama perihal dua kata yang terdapat di dalamnya. Pertama, kata “abdi.” Hubungan yang dimaksudkan oleh Yesus di sini adalah hubungan antara tuan dengan abdi, bukan antara atasan (direksi) dengan bawahan (pegawai). Di era Yesus hidup, seorang abdi secara hukum tidak memiliki hak. Dia milik tuannya semata dan tuannya dapat berbuat apa saja yang dimaui terhadapnya. Abdi, budak atau hamba tidak berhak untuk menolak, apalagi sampai menuntut tuannya. Dalam kenyataannya, tidak ada satu orang hamba milik dua tuan. Frase “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan” menegaskan tentang kenyataan kepemilikan tunggal seorang hamba.
Abdi juga tidak memiliki waktu, sepenuh waktunya hanya untuk tuannya. Dia dituntut untuk bekerja rangkap, bahkan serabutan tetapi hanya kepada satu tuan saja (band. Luk. 17:7-8). Kesiap-siagaan selama 24 jam serta keharusan melaksanakan pekerjaan adalah tuntutan mutlak perhambaan. Setiap orang Kristen adalah abdi Allah, sementara Allah adalah Tuan-nya. Kita harus mengabdi hanya kepada Allah. Di era masa kini yang menentang perbudakan manusia, tidak jadi soal manusia memiliki dua majikan, tetapi Tuan (Pemiliknya) tetap harus satu.
Kata yang kedua, adalah “Mamon.” Awal mulanya kata “Mamon” memiliki makna yang positif, tetapi selanjutnya bergeser maknanya menjadi negatif. Kata “Mamon” berasal dari kata Aram yang berarti “harta milik bendawi.” Tidak ada yang salah dalam kepemilikan harta benda, karena harta benda juga merupakan titipan Tuhan. Uang bersifat netral dan tidak berdosa, tetapi cinta uang itu adalah akar segala kejahatan (lihat 1 Tim. 6:10). Orang Kristen tidak boleh menjadi hamba uang (2 Tim. 3:2; Ibr. 13:5).
Demi keamanan terhadap kepemilikan harta benda maka orang-orang pada saat itu mempercayakan mamon atau harta milik bendawi mereka kepada seseorang atau suatu lembaga untuk dijaga. Seperti halnya manusia saat ini yang menyimpan uang di Bank agar aman. Tetapi pengaruh Mamon telah mempengaruhi masyarakat pada saat itu secara luar biasa, mereka bukan lagi mempercayakan mamon mereka, tetapi mempercayai. Mamon yang semata bendawi itu berubah menjadi ilah; bukan lagi sebagai sarana, melainkan sesembahan. Mamon searti dengan “kekayaan yang tidak halal.”
Akar kata “Mamon” adalah “mn” yang mana kata “amin” atau “iman” juga berasal dari akar kata yang sama, yang artinya: “yang pasti, yang dapat diandalkan, yang bertahan.” Tampaknya manusia memiliki kecendrungan untuk mempercayai “Mamon” karena itulah maka Yesus memberi peringatan keras agar manusia mengabdi hanya kepada Allah, bukan kepada Mamon. Allah dan Mamon disejajarkan dalam hal ini, bahkan ditulis dengan huruf besar, agar mendapat perhatian secara seksama.
Pekerjaan sekular adalah penting dan berharga di mata Allah, selama pekerjaan itu tidak bertentangan dengan Alkitab yang adalah firman Allah. Alkitab adalah dasar atau acuan dalam memaknai dunia pekerjaan. Alkitab relevan dalam segala situasi dan kondisi, bagian kita hanya mencari relevansinya. Secara tegas Alkitab memberi pandangan yang mulia terhadap pekerjaan sekular (high view of work). Kontras dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa manusia bekerja karena kutukan dewa, atau pandangan duniawi yang sangat merendahkan harkat dari pekerjaan (low view of work). Umat Kristen bekerja karena kesegembaran dengan Allah, bukan karena keharusan tragis atau karena kutukan dewa. He is worker, You and I co-worker. Allah bekerja menciptakan pohon karet, kita menciptakan ban karet; Ia bekerja menciptakan pohon jati, kita menciptakan kursi jati.Kita bekerja sebagai ekspresi kasih, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama.     
Allah kita bekerja dalam enam hari untuk menciptakan langit, bumi dan segala isinya (Kej. 1:31-2:1-3; Kel. 20:9), bahkan sampai sekarang pun Ia masih bekerja (Yoh. 5:17; Rm. 8:28). Yesus banyak berbicara tentang dunia pekerjaan (Mat. 20:1-16; 21:33-46). Dan setiap pekerja layak untuk mendapat upah dari apa yang dikerjakannya (Mat. 10:10; Luk. 10:7; 1 Tim. 5:18). Selain sebagai Rabi, masyarakat saat itu juga mengenal Yesus sebagai tukang kayu.
Begitu pula dengan rasul Paulus. Ia dipanggil dan menerima jabatan rasul bagi orang-orang non Yahudi, tetapi juga bekerja sebagai tukang kemah demi kesinambungan pelayanannya (Kis. 18:3). Perihal etos kerjanya jangan diragukan, rasul Paulus “telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua” (1 Kor. 15:10) dan melakukannya dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23; Flp. 2:14). Dalam suatu peristiwa, rasul Paulus pernah memberi peringatan, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Selain sebagai panggilan ilahi, bekerja adalah cara ofensif terbaik untuk memerangi kemiskinan, memenuhi kebutuhan dan menyumbang bagi orang lain. So, let’s work. RRS

Senin, 15 Oktober 2012

Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE - Dalam Nama Yesus



Dalam Nama Yesus
(Kisah Para Rasul 3:1-10)

Sastrawan Shakespier pernah berkata, “Apalah arti sebuah nama.” Dengan kata lain, beliau hendak mengatakan bahwa nama itu tidak bermakna sama sekali. Tetapi berbeda dengan orang Yahudi, sebuah nama mempunyai arti khusus. Nama adalah cerminan pribadi atau representasi dari orang yang menyandang nama tersebut. Nama Yakub berarti “penipu”, dan benar kenyataannya bahwa kehidupan Yakub diwarnai dengan ragam penipuan. Namun, setelah bertemu Tuhan, ia diberi nama yang baru, yaitu Israel (Kej. 35:10). Yesus memberi nama Petrus kepada Simon agar bermental seperti batu atau petra yang tegar dan kokoh (Mrk. 3:16). Maria berarti “putih” dan nyatanya ia dikenal sebagai wanita yang baik dan hidup dalam kekudusan. Makanya, para orang tua di Israel tidak sembarangan untuk memberi nama kepada anak-anak mereka.
Pernahkah anda merenungkan, ketika mendengar nama Yesus disebutkan, lalu apakah yang terlintas di benak anda? Setiap kali anda mendengar, membaca atau memikirkan nama itu, mungkin sebentuk gambar yang beragam membaur dalam benak anda. Bagaikan scene yang bergerak, berbagai gambar tentang Yesus Kristus melintas di depan mata, mendorong munculnya tanggapan yang berlainan. Apa saja yang anda yakini tentang Yesus akan tampak dalam gambar itu. Dan bagaimana anda melihat keberadaan diri Yesus, maka itulah gambaran dari diri anda terhadap Yesus yang sesungguhnya.
Banyak manusia tidak tahu, lupa atau tidak mau tahu bahwa tidak ada nama lain yang diberikan kuasa penuh selain nama Yesus. Banyak orang besar yang pernah ada di muka bumi ini, tetapi mereka semua telah mati. Namun hanya Yesus yang mati dan bangkit kembali, dan Dia tetap hidup untuk selama-lamanya. Apakah kebenaran yang terkadung di dalam nama Yesus? Saya menemukan tiga hal yang luar biasa terkandung dalam nama Yesus, mari kita mencermatinya secara seksama.


1.    Kekayaan (Kis. 3:6a).

Pukul tiga sore saat hendak pergi sembahyang di Bait Allah, Petrus dan Yohanes melihat seorang yang menderita lumpuh sejak dari lahir (Kis. 3:1-2). Orang lumpuh itu meminta sedekah, tetapi Petrus berkata: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” (Kis. 3:6).
Saat berkata, “Emas dan perak tidak ada padaku” pastilah rasul Petrus sedang berkata jujur dan tidak minder mengatakan perihal emas dan perak yang sama sekali tidak dimilikinya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh rasul Paulus bahwa emas bukanlah sesuatu yang diingingkannya setelah dia menjadi rasul Kristus (lihat Kis. 20:33).
Amazing. Rasul sekaliber Petrus, Yohanes dan Paulus sama sekali tidak memiliki emas. Anda tidak akan pernah menemukan cincin, gelang, rantai, atau jam tangan emas yang melekat di tubuhnya, karena bukan itu yang menjadi prioritas utama dan yang mereka inginkan. Mereka tidak memiliki emas, tetapi memiliki kekayaan yang jauh melebihi emas. Kekayaan mereka bukan hal yang bersifat materi, melainkan rohani. Orientasi mereka bukan mencari berkat, tetapi mencari Sumber berkat dan menjadi berkat bagi sesama. Memang sepatutnyalah demikian nilai keluhuran dan aset kekayaan dari setiap hamba Tuhan dan umat Tuhan.
Sejak zaman kuno, bangsa Israel sudah mengenal emas. Logam mulia ini dipakai untuk membuat uang dan menjadi sesuatu yang pantas dipersembahkan kepada oknum atau pribadi yang sangat dihormati. Masih ingatkah anda, ketika orang Israel berada di padang gurun, mereka membuat patung lembu dari emas? Emas sering kali dijadikan upeti yang layak dipersembahkan kepada raja. Karena itulah maka orang-orang Majus juga membawa persembahan berupa emas, kemenyan dan mur di hari kelahiran Yesus, meskipun mereka sama sekali tidak mengetahui makna rohani perihal emas, kemenyan dan mur berhubungan dengan kehidupan dan karya Kristus selama berada di dunia.
Meskipun emas menjadi lambang dari hal-hal yang baik, mulia, kekayaan atau mutu yang bertahan (band. Za. 6:11; Mat. 2:11; 23:16-17; Kis. 17:29; 2 Tim. 2:20; Ibr. 9:4; Why. 1:12-13; 3:18), namun emas tidak dipandang sebagai sesuatu yang mutlak dibutuhkan manusia, dan malah dipandang sebagai benda fana (lihat Pkh. 12:6; Mat. 10:9; Kis. 3:6; 20:33; 1 Kor. 3:12; 1 Tim. 2:9; Yak. 2:2; 5:3; 1 Ptr. 1:7, 18; 3:3). Ironisnya, banyak umat Kristen yang memiliki pandangan yang salah sehingga emas dijadikan simbol kekayaan, padahal emas adalah hal yang fana.
Dalam Injil Lukas 16:19-31, Tuhan Yesus pernah membahas perihal orang Kristen berhubungan dengan harta yang dimilikinya. Ketiga manusia dalam perikop ini adalah representasi dari umat manusia yang percaya kepada Allah. Pertama, miskin materi, tetapi kaya rohani. Lazarus yang miskin itu adalah perwakilan dari kelompok ini. Meskipun miskin di dunia, tetapi dia masuk surga. Memang tidak semua orang Kristen mampu untuk sukses secara profesi, tetapi semua orang Kristen mampu untuk sukses secara personal. Ironisnya, banyak umat Kristen yang tidak menyadarinya sehingga tidak menggapai kekayaan yang ada di hadapannya dan tidak pula berlaku hidup seperti layaknya orang kaya.
Kedua, kaya materi, tetapi miskin rohani. Orang kaya yang namanya tidak disebutkan itu mewakili kelompok ini. Mungkin namanya tidak disebutkan karena memang tidak tercatat namanya di surga. Selama di dunia orang ini hidup sebagai orang kaya, tetapi mati masuk neraka. Banyak orang Kristen menjadi sukses secara profesional, tetapi gagal secara personal. Dia menjadi kaya, tetapi bodoh dalam pandangan Allah.
Dan yang ketiga adalah orang yang kaya secara materi, sekaligus juga kaya secara rohani. Abraham mewakili kelompok ini. Hidup kaya raya di dunia, tetapi mati masuk surga. Abraham sukses secara personal, tetapi juga sukses secara profesional. Kekayaan rohani yang dimilikinya membuat Allah berkenan atasnya, sementara kekayaan materi yang dimilikinya membuat ia dihormati oleh sesamanya. Saya yakin, anda pasti ingin bernasib sama seperti Abraham, ya toh...
Pada masa kini tampaknya ajaran Alkitab tentang moneter dan hal-hal yang bersifat materi telah direduksi. Akibatnya, lahirlah suatu pandangan, bahwa: “Kesuksesan hidup ditentukan dari kekayaan materi yang kita miliki”. Di beberapa gereja lokal malah dengan lantang dikumandangkan, bahwa: “Memiliki kekayaan moneter dan material sebagai bukti dari orang yang diberkati Tuhan”. Jargon-jargon rohani, seperti: “Di gereja ini anda akan menjadi kaya”, “Di sinilah Tanah Perjanjianmu”, “Sukses dan berkat adalah hakmu” dan hal lainnya yang senada terus menerus dikumandangkan, bahkan menjadi icon gereja lokal tertentu.
Sangatlah beralasan bila jemaat di gereja lokal tersebut lebih terpacu untuk mencari berkat, bukan menjadi berkat. Datang ke gereja untuk mendapatkan berkat, bukan Sumber berkat yang adalah Tuhan itu sendiri. Kehadiran di gereja untuk membangun relasi dengan para pebisnis, bukan membangun relasi dengan Tuhan. Walaupun jemaat di gereja lokal tersebut menyadari kekeliruannya, tetap saja mereka berjemaat di situ, karena nanti kalau pindah ke gereja lain bisa menjadi kere, bangkrut alias miskin. Tragis memang dan sangatlah memprihatinkan!
Pada hakekatnya setiap orang Kristen adalah orang kaya, karena Yesus Kristus yang membuatnya menjadi kaya (lihat Yoh. 10:10; 1 Kor. 1:5; 2 Kor. 8:9). Tuhan tidak berjanji membuat kita kaya dalam materi, tetapi yang dijanjikan-Nya atas kita adalah kaya dalam Dia. Persoalannya adalah bagaimana orang Kristen memaknai kekayaan? Bagaimana sikap orang Kristen meresponi kekayaan tersebut?
Saya memiliki teman bernama Pendeta Fengky Maukar. Dia selaku gembala senior dari gereja BEST (BlEssing in SpiriT). Sebelum menjadi pendeta, Fengky Maukar adalah seorang pengusaha, tetapi setelah menjadi Pendeta dia tidak lagi berbisnis. Totalitas hidupnya hanya untuk melayani Tuhan; full time and full heart. Orangnya sangat sederhana dan rendah hati. Sepengetahuan saya belum pernah melihat dia mengenakan cincin emas berbalutkan blue saphir. Jam tangan yang dikenakannya pun bermerek biasa dan itu pun hanya sesekali dikenakannya. Alhasil, para leader di gereja BEST menjadi sungkan untuk mengenakan cincin, gelang, rantai atau jam tangan yang terbuat dari emas dan perak. Saya bermegah dalam Tuhan karena mengenal beliau dan ikut terlibat dalam pelayanan mimbar di gereja yang digembalakannya, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.
Tanpa terasa sudah tujuh tahun, sejak tahun 2006 saya telah memberitakan firman kepadai jemaat Tuhan yang digembalakannya. Nggak dinyana-nyana tanggal 17 September 2012 lalu, saya mendapat award sebagai apresiasi karena telah lebih dari lima tahun terlibat dalam pelayanan di gereja BEST. Lebih takjubnya lagi, karena penghargaan yang diberikan kepada saya berupa Samsung Galaxy Note 10,1 yang sudah lama saya idam-idamkan guna membantu kelancaran dalam melayani Tuhan. Haleluya...
Tetapi bukan itu sesungguhnya poin saya. Gereja BEST tidak mengedarkan kantong kolekte saat ibadah dilangsungkan. Jemaat diperintahkan untuk memberi dengan sukarela dan memasukkannya sendiri selesai ibadah ke peti persembahan yang berada di dekat pintu masuk. Kabar beredar yang saya dengar malah gereja BEST digosipkan sebagai “gereja yang menolak berkat”, mungkin karena tidak mengedarkan kolekte atau karena beberapa kali Pendeta Fengky Maukar tidak sudi menerima secara pribadi uang yang diberi jemaat secara langsung kepadanya. Dia selalu menyarankan agar jemaat memasukkan uang tersebut ke peti persembahan gereja. Dia juga tidak mendapat gaji dan sama sekali tidak memegang secara langsung uang persembahan atau perpuluhan gereja BEST yang digembalakannya. Dia hanya memeriksa keuangan dari bendahara gereja yang tiap bulan dilaporkan kepadanya.
Ajaibnya, dia sendiri maupun keluarganya serta gereja BEST yang digembalakannya tidak pernah mengalami krisis moneter. Tidak pula berkelimpahan materi sehingga terkesan glamor dan selebritis, semua kebutuhan dicukupkan oleh Tuhan. Beberapa cabang terus dibuka, hingga sampai saat ini gereja BEST telah ada di 11 kota. Tidak hanya itu, gereja BEST malah memberkati gereja Tuhan di daerah pedalaman serta para hamba Tuhan dalam pelayanan misi yang rutin tiap bulan diadakan.
Dalam suatu peristiwa, Pendeta Fengky Maukar pernah berujar kepada saya, bahwa: “Kita bukan mencari berkat, tetapi menjadi berkat, karena kita itu sendiri adalah berkat”. Pengajaran seperti inilah yang diajarkannya secara kontinyu kepada jemaat gereja BEST yang digembalakannya. Dalam setiap doa berkat di akhir ibadah, beliau selalu mengatakan, “Mendapatkan berkat itu perkara yang mudah, tetapi menjaga hati adalah perkara yang susah karena itu harus dijaga senantiasa” sambil mengajak jemaat menaruh kedua tangan di dada sebagai simbol menjaga hati.
Ungkapan Petrus mengenai, “Emas dan perak tidak ada padaku” perlu secara seksama kita hayati. Tidak memiliki emas dan perak bukan tanda tidak diberkati. Bukan pula berdosa bila orang Kristen memiliki dan mengenakan perhiasan emas. Yang hendak ditegaskan oleh Petrus di sini bahwa kekayaan orang Kristen yang sejati bukan pemilikan berupa emas, perak dan material lainnya, melainkan kekayaan rohani yang lebih bersifat kekal dan mulia.
Alkitab sarat mencatat tentang bahaya dari kekayaan moneter dan material. Dalam Lukas 12:13-21, diceritakan tentang seorang kaya yang bodoh dalam pandangan Tuhan Yesus. Jangan sampai anda keliru memaknainya! Yang dipersoalkan oleh Yesus dalam hal ini bukan menjadi kaya, tetapi jangan menjadi bodoh karena beroleh kekayaan. Orang kaya yang dijadikan perumpamaan oleh Tuhan Yesus dalam nats ini adalah seorang yang tahu secara pasti bagaimana mencapai gol atau target dalam pencapaian kesuksesan. Ia juga memiliki kapasitas untuk mendapatkan kekayaan, menyimpan kekayaan dan memperbesar jumlah kekayaannya (lihat Luk. 12:16-19). Tetapi di mata Tuhan Yesus dia tak lain adalah seorang kaya yang bodoh karena kekayaan yang diraihnya itu tidak membuat hidupnya bermakna.
            Kekayaan moneter atau materi bersifat netral dan tidak dosa, tetapi hati yang dikuasai oleh harta adalah berdosa di mata Allah. Uang tidak haram dan tidak berdosa, tetapi cinta uang itulah yang dikatakan sebagai dosa (band. 1 Tim. 6:10; Ibr. 13:5). Manusia yang menciptakan uang, karena itu manusia yang harus mengendalikan uang, bukan dikendalikan oleh uang. Mungkin kita bisa meraih kekayaan berlimpah-limpah, tetapi Tuhan Yesus lebih mengingankan karakter kita daripada kekayaan kita. Mata Tuhan lebih tertuju kepada hati kita daripada kemapanan dan kenyamanan yang kita miliki. Secara tegas Dia mengatakan bahwa “hidup manusia bukan tergantung daripada kekayaan itu” (lihat Luk. 12:15).


2.    Kuasa (Kis. 3:6b).

Beberapa tahun sebelum kematiannya, dalam sebuah wawancara bersama American Magazine, dengan sesumbar John Lennon berkata: ”Kekristenan akan berakhir, Kekristenan akan segera menghilang atau lenyap. Saya tidak perlu berdebat mengenai Kekristenan. Saya yakin akan lenyap dan berakhir”. Lebih lanjut John Lennon berkata, ”Yesus sudah OK. Tetapi Dia seorang yang terlalu sederhana dan merakyat. Hari ini kita (The Beatles) lebih terkenal daripada-Nya”. Sambil menantang John Lennon ingin membuktikannya dengan membuat konser pada hari minggu. Silahkan anda buktikan, mana yang lebih banyak dikunjungi orang, konser kami The Beatles atau ibadah minggu yang diadakan oleh gereja. Ternyata benar bahwa lebih banyak orang datang ke konser The Beatles, dari pada menghadiri ibadah minggu di gereja.
Apa fakta yang terjadi setelah John Lennon mengatakan bahwa The Beatles lebih terkenal dari Yesus Kristus. Pada tanggal 8 Desember 1980, di apartemen pribadinya di kota New York, Jhon Lennon ditembak empat kali oleh Mark David Capman yang adalah salah seorang penggemarnya. Meskipun Lennon tiba di rumah sakit tanpa detak jantung, tim dokter berusaha menyelamatkan nyawanya dengan menggunakan berbagai prosedur medis. Transfusi darah dilakukan, pemijatan jantung juga diusahakan, tetapi nyawa John Lennon tidak terselamatkan.
Ada apa sesungguhnya arti dalam nama Yesus? Sama seperti setiap nama memberikan identitas kepada pemiliknya serta mencerminkan hidup pribadinya, nama Yesus mengingatkan orang akan siapa Yesus serta apa yang telah Ia lakukan bagi kita. Seluruh kehidupan Yesus, pekerjaan-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya menyatakan arti dari nama yang disandang-Nya. Dalam sudut pandang Yudaisme, nama selalu diidentikkan dengan kuasa (lihat Kis. 4:7). Orang ternama pastinya punya kuasa untuk berbuat apa saja, begitu pula sebaliknya, orang berkuasa pastilah sebagai orang ternama.
Nama yang disandang Yesus bukan nama yang diberi oleh manusia, melainkan dari Tuhan. Malaikat utusan Allah hanya sebatas menyampaikan kepada kedua orang tua-Nya agar mereka memberi nama yang diberikan oleh Allah itu (lihat Mat. 1:21; Luk. 1:31). Patut diingat bahwa nama “Yesus” berarti “Tuhan menyelamatkan” atau “Tuhan adalah keselamatan.” “Di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12). Begitu luhurnya nama itu, maka manusia akan dipersalahkan bila menyebut nama Allah itu dengan sembarangan, apalagi dengan sengaja mempermainkannya (lihat Kel. 20:7; Im. 24:16; Gal. 6:7).
Setelah Pembuangan ke Babel, kata ישוע (YÊSYÛA') ditransliterasikan (alih aksara) dalam bahasa Yunani menjadi, ιησους (IÊSOUS). Ditransliterasikan lagi ke dalam bahasa Latin: ”Iesus”; dalam bahasa Inggris: ”Jesus”; dalam bahasa Indonesia menjadi ”Yesus”. Dalam bahasa Arab nama Yesus, menjadi: يسوع  (Isa) yang diteransliterasikan dari kata ישוע (YÊSYÛA'), mengingat banyak sekali aksara "Y" (Ibrani) menjadi "I" dalam bahasa Arab. Contohnya: Nama ”Yisma’el” menjadi "Ismail", nama ”Yisra’el” menjadi "Israil" atau nama ”Yitskaq” menjadi Ishak.
Di Indonesia, hampir tidak ada orang Kristen yang memakai nama Yesus. Mungkin karena merasa tidak layak untuk menyandangnya. Hal ini berbeda dengan kaum muslim yang sudi memberi nama Muhammad kepada anak mereka. Padahal Alkitab mencacat bahwa nama Yesus adalah nama yang lazim dikenakan oleh masyarakat pada saat itu. Ada beberapa pribadi yang dicacat oleh Alkitab bernama Yesus, yakni: Yosua bin Nun (Kis. 7:45; Ibr. 4:8), Yesua, nenek moyang Yesus Kristus sendiri (Luk. 3:29), Yesus Barabas penjahat yang dibebaskan oleh Pontius Pilatus, terkadang hanya disebut Barabas saja (Mat. 27:16-17), dan Yesus yang dinamai Yustus rekan sekerja rasul Paulus (Kol. 4:11). Untuk membedakan dengan orang lain yang bernama sama, maka diberi nama tambahan menjadi: ”Yesus Kristus” (Mat. 27:17), “Yesus anak Yusuf” (Yoh. 6:42) atau “Yesus dari Nazaret” (Yoh. 18:7; Kis. 3:6).
Selain sebagai representasi dari Tuhan Allah itu sendiri, nama Yesus juga memiliki arti khusus. Di dalam nama Yesus ada daya kuasa yang dahsyat dan luar biasa. Alkitab mencatat ada ganjaran istimewa bagi mereka yang menyerukan nama Yesus. Pertama, kuasa untuk beroleh hidup yang kekal (Kis. 4:12; 10:43; 1 Yoh. 2:12). Secara tegas Alkitab mengatakan bahwa hidup yang kekal bukan ditentukan oleh agama yang dianutnya, tak terkecuali agama Kristen sekalipun. Semua agama pada dasarnya adalah baik. Tetapi agama hanya sebatas rambu jalan yang menunjukkan arah ke surga, bukan jalan ke surga. Yesus adalah jalan untuk pergi ke surga (Yoh. 14:6).  Memang banyak jalan menuju Roma, tetapi jalan ke surga hanya satu yaitu beriman dalam nama Yesus Kristus.
Keselamatan kekal bukan pula dikarenakan oleh perbuatan baik atau karena pahala yang diperoleh, melainkan “karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” dalam nama Yesus Kristus. Perbuatan baik atau pahala adalah buah keselamatan, bukan sarana keselamatan. Orang yang telah diselamatkan karena beriman kepada Yesus Kristus memiliki gaya hidup untuk melakukan pekerjaan baik. Tidak ubahnya seperti pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula (band. Ef. 2:8-10).
Kedua, kuasa untuk beroleh jawaban doa (Yoh. 14:13-14; 16:23; Yak. 5:16). Ayat-ayat ini berupa pengakuan secara pribadi bahwa Yesuslah yang memungkinkan dan melayakkan permohonan doa dinaikkan kepada Allah. Memang ada kuasa bila kita berdoa dalam nama Yesus, tetapi jangan dijadikan sebagai mantera atau perkataan yang mendatangkan daya gaib. Setiap pribadi yang berdoa dalam nama-Nya, maka Yesus sendiri yang akan melakukannya dan mengabulkan doa yang dipanjatkan kepada Allah.
Karena itu, orang yang berdoa dalam nama Yesus berarti mempercayai sepenuhnya bahwa Yesus berkuasa untuk menjawab setiap doa yang dipanjatkan kepada Allah. Jadi, ada kepercayaan yang utuh bahwa Allah bisa membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin; membuat yang tidak ada menjadi ada. Orang yang berdoa dalam nama Yesus berarti dia akan menempatkan kehendak Tuhan di atas kehendak-Nya. Yesus telah memperlihatkan hal ini melalui  pengajaran dan praktek doa yang ditunjukkan-Nya, dengan menempatkan kehendak Tuhan di atas kehendak-Nya secara pribadi (lihat. Mat. 6:10; 26:39).
Ketiga, di dalam nama Yesus ada kuasa untuk menyembuhkan sakit penyakit (Mrk. 16:18; Kis. 3:6). Yesus adalah Tabib di atas segala tabib. Segala kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepada-Nya (Mat. 28:18). Kuasa itulah yang diimpartasikan kepada setiap orang percaya agar mereka “meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh” (Mr. 16:18). Yang menjadi persoalan terkadang kita tidak menyadari bahwa tangan kita ada kuasa kesembuhan.
Keempat, kuasa untuk mengusir setan (Mrk. 9:38; 16:17; Luk. 10:17). Orang yang beriman dalam nama Yesus tidak diperintahkan untuk memburu setan dan antek-anteknya. Tidak perlu mendatangi tempat keramat hanya untuk tujuan khusus mengusir setan yang ada di situ. Jangan juga kompromi kepada setan melainkan usir bila setan datang menghampiri atau berusaha mengganggu area di mana kita berada. Jangan takut, “sebab Roh yang ada pada kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1 Yoh. 4:4).
Kelima, kuasa untuk menerima karunia-karunia Roh Kudus (Kis. 2:38; 10:43; 1 Yoh. 2:12), seperti: bernubuat (Mat. 7:22-23; 1 Kor. 14:3), berbahasa Roh (Mrk. 16:17; 1 Kor. 14:2), dan melakukan mujizat (Mat. 7:22-23; Mrk. 9:39). Karunia rohani berbeda dengan bakat atau bawaan dari lahir. Karunia-karunia rohani berupa pemberian Allah yang harus diupayakan secara pribadi (band. 1 Kor. 14:1).


3.    Kemuliaan (Kis. 3:7-10).

Setelah Petrus berdoa dalam nama Yesus, ia menolong orang lumpuh yang didoakannya itu untuk berdiri, “Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu”. Tiba-tiba orang yang lumpuh sejak dari lahir itu melonjak berdiri, karena ia sudah tidak lumpuh lagi. Kemudian, ia mengikuti para rasul berjalan menuju Bait Allah dengan melompat-lompat sambil memuji Tuhan. Halayak ramai yang ada di situ menjadi takjub dan tercengang melihat keadaan orang lumpuh ini karena mereka sudah mengenalnya sebagai orang yang lumpuh dari lahir dan pengemis yang selalu diletakkan untuk duduk di dekat pintu gerbang.
Pertanyaannya, apa maksud dan tujuan kesembuhan terhadap orang lumpuh ini? Jawabannya hanya satu, yaitu untuk kemuliaan nama Yesus dari Nazaret itu. Dengan kesembuhan itu maka nama Yesus diberitakan kepada halayak ramai (Kis. 4:5-12). Dan kesembuhan itu juga sebagai ”tanda” Mesias yang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya bahwa, “Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa” (Yes. 35:6).
Setiap orang yang beriman dalam Yesus Kristus akan memiliki kekayaan dan kuasa rohani yang jauh melebihi kekayaan material dan kuasa duniawi. Karena itu, tidaklah mengherankan bila mereka sanggup melakukan perkara-perkara yang ajaib di luar kapasitas yang mereka miliki. Adalah suatu kesombongan bila keajaiban yang menyertai kehidupan dan pelayanan kita bukan ditujukan untuk kemuliaan nama Yesus. Secara tegas Yohanes Pembaptis berkata tentang Yesus: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Rasul Paulus juga menyatakan hal yang sama, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36). RRS

Minggu, 02 September 2012

Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE - Hukum Taurat vs Kasih Karunia


Hukum Taurat vs Kasih Karunia

Horas pak Pdt. Rudy Sirait... Saya Lexy Hutagaol seorang penikmat rubrik “Bengkel” yang pak asuh di Majalah Narwastu Pembaharuan. Ada satu hal yang saya mau tanyakan, sehingga memberanikan diri untuk menulis email kepada bapak. Apakah hubungan Hukum Taurat dengan Kasih Karunia dalam aspek keselamatan (soteriologi). Untuk apa sebenarnya hukum Taurat itu diberikan oleh Allah kepada umat manusia? Dengan penuh harap saya menunggu jawabannya. Terima kasih sebelumnya. Tuhan memberkati (Lexy Hutagaol – Medan, Sumut).

            Horas jala gabe. Saya hargai rasa ingin tahu yang ada pada anda. Semoga catatan saya ini dapat menolong anda untuk memahaminya sehingga kian meluap rasa kagum atas karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Allah atas manusia berdosa makhluk ciptaan-Nya.
Kasih adalah salah satu sifat dasar Allah, tetapi apabila kasih itu dihubungkan dengan orang-orang berdosa maka menjadi kasih karunia. Kata ”kasih karunia” diterjemahkan dari kata Yunani ”Charis” yang dapat diartikan sebagai: kasih karunia, anugerah, pemberian, rahmat atau belas kasihan. Dalam konteks soteriologis maka kasih karunia berarti keselamatan yang sama sekali terpisah dari jasa-jasa kita atau oleh karena perbuatan baik kita. Keselamatan bukan terjadi sebagai “hasil pekerjaan” kita karena pekerjaan penyelamatan telah diselesaikan di atas kayu salib. Ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh Allah bagi kita dan Yesus telah melakukannya dengan kasih karunia-Nya.
Coba sejenak pertanyaan di bawah ini kita cermati. Dengan apakah seseorang bisa mendapatkan sesuatu? Saya melihat ada tiga cara yang dapat ditempuh. Pertama, dengan cara halal atau tidak berdosa. Misal, saya berkeinginan untuk memiliki sebuah televisi maka saya bekerja di sebuah perusahaan dan honor yang saya peroleh saya gunakan untuk membeli sebuah televisi. Ini namanya memperoleh sesuatu dengan cara halal. Cara yang kedua, dengan cara haram atau dengan cara berdosa. Seperti halnya pencuri yang menyusup ke dalam rumah untuk mengambil sebuah televisi. Inilah yang dinamakan memperoleh sesuatu dengan cara tidak halal. Cara yang ketiga adalah dengan cara diberi secara cuma-cuma atau kasih karunia. Saya mendatangi anda lalu memberikan secara cuma-cuma sebuah televisi sehingga anda memiliki sebuah televisi. Karena berupa pemberian, maka anda tidak perlu untuk membayarnya, tetapi anda bisa saja menolak atau tidak sudi untuk menerimanya.
Bila kita hubungkan dengan keselamatan kekal, cara manakah yang paling tepat untuk memperoleh hidup kekal? Mungkinkah dan dapatkah manusia manusia berdosa meraih hidup kekal dengan cara halal? Saya jamin tidak, karena manusia punya kecendrungan untuk berdosa, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dosa yang menyebabkan manusia tersesat (Mat. 18:11 ; Luk. 15:4,8,24). Jika tidak mendapat pengampunan, maka dosa menyebabkan manusia menjadi binasa (Rm. 3:23; 6:23; Yoh. 3:16; 1 Yoh. 1:9).
Bila kita mengacu kepada cara yang kedua yaitu dengan cara haram maka sudah pasti manusia tidak akan mungkin dan tidak akan dapat beroleh hidup yang kekal. Sesuatu yang haram dan berdosa tidak akan pernah membuat manusia beroleh hidup yang kekal. Karena itu, cara yang paling tepat dan logis untuk beroleh hidup yang kekal hanyalah dengan cara diberi secara cuma-cuma oleh karena kasih karunia Allah.
Kata Yunani yang seharusnya diterjemahkan “dengan cuma-cuma” dalam Yohanes 15:25 oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diterjemahkan menjadi “tanpa alasan”. Terjemahan ini sangatlah tepat karena kita dibenarkan tanpa alasan! Tidak ada satupun dalam diri manusia yang membuat ia pantas atau layak menerima keselamatan dari Allah. Semua ini karena kasih karunia, diberi secara cuma-cuma.
Keselamatan kekal adalah pemberian bukan pahala. Oleh karena itu janganlah kita sampai menyia-nyiakannya (band. Ibr. 2:3). Secara eksplisit Alkitab memberi penegasan bahwa yang terpenting bukanlah sekedar memiliki keselamatan, melainkan juga mengerjakan keselamatan dengan sikap takut dan gentar (Flp. 2:12).  Dan Allah mengendaki agar orang yang telah diselamatkan itu hidup di dalamnya (band Ef. 2:10; Gal. 5:13).
            Mari kita maknai lebih dalam lagi. Mengapa kasih karunia Allah bersifat penting? Apa yang menjadi dasar sehingga kasih karunia itu dinyatakan kepada manusia berdosa? Ada tiga hal secara mendasar bila saya melihatnya. Pertama, karena kasih karunia Allah maka manusia dapat terbebas dari belenggu dosa dan diperdamaikan dengan Allah. Standar Allah bukanlah standar moral seperti yang ditekankan oleh Hukum Taurat melainkan standar kasih.
Hukum Taurat diberikan bukan untuk menyelamatkan manusia, melainkan untuk menunjukkan kepada manusia bahwa ia perlu diselamatkan (Rm. 4:14-15). Manusia berdosa diselamatkan bukan karena ia terlepas dari kesalahan hukum Taurat karena tidak seorangpun yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat (Gal. 5:4). HukumTaurat tidak menyelamatkan manusia, tetapi hanya membuat manusia mengenal dosa (band. Rm. 3:20). Pengenalan terhadap hakekat dosa akan menyadarkan manusia betapa dahsyatnya akibat dari dosa tersebut.
Hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Yesus Kristus datang seperti yang telah dijanjikan-Nya itu supaya kita dibenarkan oleh iman (Gal. 3:19-24). Jadi pembenaran orang berdosa bukan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena kasih karunia (Ef. 2:8-9) oleh karena ia beriman kepada Yesus Kristus sebagai juru selamatnya secara pribadi (Rm. 1:17-18; Gal. 3:11). Intinya, hukum Taurat itu menunjukkan bahwa manusia butuh Juru selamat. Dan Yesus Kristus adalah kegenapan dari Hukum Taurat itu (Rm. 10:4; 8:1-4; 2 Kor. 5:21).
Dosa tidak akan pernah dapat diselesaikan oleh manusia secara pribadi. Malah bila dibiarkan maka manusia makin berdosa dan bertambah jahat. Setelah manusia jatuh dalam dosa, Allah sendiri yang berinisiatif untuk menebus manusia dari keberdosaanya (lihat Kej 3:15 band. Yes 7:14; 9:5; 52:13-53:12; Mi. 5:1; Mat. 1;23; Yoh. 3:16; Rm. 6:23). Karena Allah mengetahui secara pasti bahwa manusia tidak dapat menyelesaikan persoalan dosa, maka Ia menyatakan kasih karunia-Nya. Tanpa kasih karunia maka status saya dan saudara tetap sebagai tawanan atau budak dosa dan akan menjadi korban penghukuman akibat dari perbuatan dosa.
            Kedua, Karena kasih karunia maka Allah tidak menghendaki siapapun untuk binasa. Yang dikehendaki oleh Allah adalah supaya semua orang diselamatkan (lihat 1 Tim. 2:4) dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16; 2 Ptr. 3:15). Kematian Kristus di kayu salib adalah tindakan Allah untuk merealisasikan keselamatan bagi manusia berdosa. Tetapi realisasi ini butuh pengakuan dan respon dari manusia berdosa dalam menanggapi keselamatan yang ditawarkan kepadanya. Manusia berdosa hanya dituntut untuk mengakui dengan mulutnya dan percaya dengan segenap hati kepada Yesus Kristus maka ia diselamatkan (band. Rm. 10:9-10). Bila disimpulkan maka kematian Kristus di kayu salib ditawarkan untuk semua manusia, tetapi berlaku hanya bagi mereka yang percaya kepada-Nya (band. Yoh. 3:16; 14:6; Kis. 4:12). Bukan universalisme, melainkan universalitas.
Perbuatan baik atau kesalehan hidup tidak akan pernah dapat membuat manusia berdosa beroleh keselamatan kekal. Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik karena perbuatan baik yang kita perbuat tidak akan pernah mampu untuk membayar atau menebus dosa yang telah kita perbuat. Perbuatan baik adalah buah dari keselamatan, bukan sarana keselamatan (baca Ef. 2:8-10). Karena itu orang yang sudah diselamatkan layak untuk berbuahkan kebaikan dan memang sepatutnya adalah demikian.
Mungkin anda berkata kalau karena kasih karunia kita diselamatkan, apa pentingnya lagi kita berbuat baik? Lalu, untuk apa kita mencari pahala atau mengejar mahkota? Alkitab menegaskan bahwa di surga nanti kita akan berhadapan dengan Yesus yang duduk di takhta-Nya. Di hadapan takhta-Nya itulah kita akan melemparkan pahala atau mahkota yang kita peroleh saat hidup di dunia ini. Kita melakukannya sebagai suatu pujian dan pengaguman kepada Yesus Kristus yang telah menyelamatkan kita (lihat Why. 4:10). Kalau kita tidak memiliki mahkota, apa yang akan kita lemparkan nanti di surga saat menghadap takhta-Nya?
Ketiga, Allah ingin menyatakan kasih-Nya yang besar kepada manusia berdosa (Yoh. 3:16). Karena kasih maka Allah mengampuni orang-orang berdosa, tetapi keadilan Allah menuntut konsistensi Allah untuk menyatakan keadilan-Nya. Allah tidak dapat melanggar ketetapan-Nya sendiri atau mengingkari sifat-Nya sama sekali. Secara adil maka Allah akan menghukum manusia karena dosa yang telah diperbuatnya (lihat Kej. 3:16-19). Dan maut adalah upah atas dosa yang telah diperbuat oleh manusia (Rm. 6:23).
Tetapi jangan pernah diabaikan bahwa Allah yang maha adil itu (Mzm. 7:12; Yes. 30:8; Yoh. 17:25; I Yoh. 2:1), juga adalah Allah yang maha kasih (Yoh. 3:16; 1 Yoh. 4:8). Kasih dan keadilan Allah berjalan bersamaan, tanpa mengurangi dan kontradiksi satu sama lain. Seperti keadilan yang telah dinyatakan-Nya, maka secara otomatis kasih Allah juga harus dinyatakan atas manusia berdosa. Untuk mewujudkan kasih-Nya maka Allah sendiri yang melakukan prakarsa untuk menyelamatkan manusia berdosa. Tidaklah mungkin Allah membiarkan manusia sementara Dia sendiri mengetahui secara pasti bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menyelamatkan dirinya dari belenggu dosa. Adalah suatu kesombongan bila manusia beranggapan dapat menyelesaikan persoalan dosa pribadi dengan kesalehan atau melalui perbuatan baiknya. 
Alkitab tegas mengatakan bahwa kematian Kristus di kayu salib membenarkan manusia berdosa, ”Oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus (Rm. 3:24 band. Rm. 6:23; Ef. 2:8-9). Kasih Allah itulah yang menutupi segala dosa (band. 1 Kor. 13:7). Kasih Allah adalah dasar dari pembenaran terhadap orang berdosa. Nah, bagaimana Allah yang kudus itu dapat membenarkan orang-orang berdosa? Lalu apa langkah yang ditempuh oleh Allah terkait dengan kedua sifat-Nya itu, yakni: kasih terhadap orang berdosa dan keadilan ditegakkan bagi orang berdosa? Bagaimana Allah dapat bersifat adil, tetapi juga menyelamatkan orang berdosa sebagai wujud dari kasih-Nya? Jawabannya ada dalam diri Yesus Kristus. Salib adalah bukti bahwa Yesus menanggung murka Allah di Golgota untuk menebus manusia berdosa sekaligus menyatakan kasih-Nya. Dan Yesus telah memenuhi fakta-fakta hukum Allah secara sempurna dan juga sempurna dalam mengungkapkan kasih Allah bagi umat manusia ciptaan-Nya.
            Dua kisah di bawah ini cukup representatif untuk menolong kita dalam memahami perihal kasih karunia Allah. Dr. G. Campbell Morgan sedang berusaha menjelaskan “Keselamatan yang cuma-cuma” kepada seorang penggali tambang batu bara, tetapi penggali tambang itu tetap saja tidak dapat memahaminya. Sambil tetap ngotot mempertahankan pendapatnya ia tetap mendebat Dr. Morgan dengan berkata, “Saya harus membayar untuk memperolehnya.
            Berkat hikmat dari Allah lalu Dr. Morgan melontar pertanyaan, “Bagaimana anda dapat menuruni tambang tadi pagi?” “Mudah sekali,” jawab orang itu. “Saya hanya masuk ke dalam lift, lalu turun.” Kemudian Dr. Morgan berkata, “Sangat mudah, bukan? Anda tidak harus membayar sesuatu untuk itu.” Penambang itu tertawa. “Tidak, saya tidak usah membayar apa-apa, tetapi perusahaan tentunya mengeluarkan banyak biaya untuk mengadakan lift di penambangan ini.” Akhirnya penggali tambang itu dapat melihat kebenaran Allah sambil berkata: “Saya tidak membayar sesuatu apa pun untuk diselamatkan, tetapi Allah membayarnya dengan hidup Anak-Nya.
            Pada abad ke-20, Kaisar Tsar Rusia pernah digoncang kepemimpinannya oleh kelompok revolusioner yang dipimpin oleh seorang pejuang bernama Shamila. Shamila dan kelompoknya hidup mengembara dan berpindah pindah untuk maksud menggulingkan Tsar Rusia.
            Dalam suatu peristiwa seorang bawahan Shamila datang ke tendanya untuk melaporkan bahwa persedian makanan mereka telah dicuri. Shamila kesal bukan kepalang karena persediaan makanan sangat terbatas. Segera ia mengumpulkan semua anggotanya dan menetapkan sebuah keputusan yang bersifat yuridis bila tertangkap basah mencuri makanan maka sang pencuri akan menerima hukuman cambuk dan semua anggota harus menyaksikan agar mereka tidak ikut-ikutan mencuri. Tidak lama setelah Shamila mengeluarkan ketetapan, pengawalnya datang menghadap kembali untuk memberitahukan bahwa makanan kembali dicuri, tetapi pencurinya sudah tertangkap.
Tragisnya yang tertangkap sebagai pencuri itu adalah ibu kandung Shamila sendiri. Selanjutnya, apa yang terjadi? Apakah Shamila akan membebaskan ibunya karena memang ia sangat mengasihi ibunya itu? Atau sebaliknya membiarkan ibunya dicambuki di depan mata kepalanya sendiri. Tentulah Shamila mengalami dilema dan konflik batin. Menurut Anda apa yang akan dilakukannya? Bila Shamila membebaskan ibunya sebagai bukti kasih kepada orang yang sangat dikasihinya itu maka pengikutnya akan menganggap ia sebagai pemimpin yang tidak adil. Atau sebaliknya, bila ia mencambuki ibunya maka orang-orang akan mengatakan bahwa ia tidak mengasihi ibunya. Seluruh pengikutnya menantikan bagaimana tindakan Shamila dalam mengatasi problema yang terjadi. Di depan banyak orang Shamila melepaskan jubahnya dan memerintahkan agar pengawal mencambuki dirinya. Tindakan seperti ini dilakukan oleh Shamila karena didasari oleh kasihnya kepada ibunya, tetapi juga sekaligus menyatakan keadilan yang harus ditegakkan.
            Hal seperti itulah yang dilakukan oleh Allah kepada manusia berdosa ciptaan-Nya. Allah sendiri yang turun tangan untuk mengatasi problema dosa. Yesus rela memberi diri-Nya untuk menderita di kayu salib agar keadilan Allah atas dosa dapat ditegakkan dan kasih Allah atas manusia berdosa juga sekaligus dinyatakan sehingga umat yang dikasihi-Nya beroleh hidup yang kekal. Allah itu kasih (1 Yoh. 4:8, 16). Ia penuh anugerah dan mengetahui secara pasti bahwa manusia membutuhkan kasih karunia karena tak satupun manusia mampu melepaskan diri dari jerat dan hukuman dosa. Pertanyaannya, maukah kita menerima kasih karunia itu dan hidup di dalamnya? (RRS)