Senin, 23 Juli 2012

Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE - Tua-tua Keladi


Tua-tua Keladi

Group band legendaris The Rolling Stone merayakan ulang tahun emas ke-50 pada tanggal 12 Juli lalu. Lima puluh tahun lalu mereka tampil pertama kali di The Marquee Jazz Club di jalan Oxford Street, London. Si bibir dower Mick Jagger sang vokalis, sangat bersyukur atas anugerah Tuhan karena tetap eksis hingga sampai saat ini. Mereka bahkan berencana mengadakan tour keliling dunia untuk menghibur para penggemarnya walaupun usia mereka sudah mencapai 70 tahun .

Kehidupan personil The Rolling Stones memang fenomenal. Mereka pernah terlibat narkotik, konflik dengan sesama anggota grup, bahkan nyaris dibunuh namun hal itu tidak menumbangkan karier mereka dalam bermusik. Tanggal 21 Februari 2012 lalu, Presiden Amerika Barack Obama mengundang Mick Jagger untuk bernyanyi di East Room Gedung Putih, Washington DC dalam acara “Black History Month,” untuk menghormati orang-orang penting kulit hitam yang dulu disiksa dan sebenarnya memberikan pengaruh yang baik bagi negara Amerika. Bahkan dipenghujung konser, Obama menyanyikan lagu “Sweet Home Chicago” bersama Mick Jagger yang tak lain adalah sang idolanya.

Mick Jagger dan groupnya pernah dikecam oleh umat Kristiani karena merilis lagu yang berjudul “Sympathy for The Devil.” Lagu ini sarat dengan pemujaan setan dan pelecehan terhadap Tuhan Yesus Kristus. Tetapi, memasuki usia senja Mick Jagger banyak mengeluarkan hits yang bertema spiritiual, seperti: “See You In Paradise,” “God Give Me Everything” atau “Vision of Paradise” dan lainnya. Dalam suatu wawancara, Jagger berkomentar, “I don’t want to talk about Jesus, I just want to see His face.” Di usia senja mereka terus berkarya sambil mensyukuri apa yang telah Allah perbuat dalam hidup mereka. Still Alive and kicking. Never ending rock’n roll.

Bagaimana dengan ajaran Alkitab tentang masa tua? Di Mazmur 92:13-16 tertulis, “Orang benar akan bertunas seperti pohon korma... Pada masa tua pun mereka masih berbuah...” Tampaknya pemazmur sangat mengenal keberadaan pohon korma. Pohon korma adalah pohon yang tinggi, lurus dan selalu menghijau. Umurnya bisa mencapai puluhan tahun. Dan semakin lanjut usianya, maka pohon korma akan menghasilkan buah-buah yang semakin berkualitas.

Di bait Allah, pemazmur sering menceritakan tentang keberadaan pohon korma melalui mazmur yang dinyanyikannya. Sebagian dari gubahan liriknya berbunyi demikian, “Orang benar akan bertunas seperti pohon korma...” (Mzm. 92:13), “Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar” (Mzm. 92:15). Dengan memakai gambaran tentang pohon, pemazmur hendak mengingatkan bahwa di masa tuapun orang benar akan akan sanggup menjulang tinggi dalam berkarya dan menghasilkan buah-buah yang bermutu. Masa tua bukan untuk menganggur atau berpangku tangan, melainkan ada fungsinya sehingga menjadi kesaksian yang berfaedah bagi anak cucunya.

Pemazmur juga menggambarkan hidup orang benar bukan seperti pohon yang kering, kerdil dan mudah patah ditiup oleh angin, melainkan “seperti pohon aras di Libanon yang akan tumbuh subur” (Mzm. 92:13). Tinggi pohon aras bisa mencapai 40 meter dengan batang yang berdiameter 2,5 meter. Selain tinggi besar, pohon aras juga memiliki keistimewaan tersendiri. Bila pohon aras ditiup angin yang sepoi-sepoi, maka dia akan lenggak-lenggok dan akan mengeluarkan bunyi seperti orang bersiul. Semakin keras tiupan angin maka semakin keras pula bunyi dikeluarkan, tetapi tidak satupun dahannya yang patah karena tertiup oleh angin.

Pohon aras biasanya tumbuh di puncak gunung yang sangat dingin. Meskipun sangat dingin, namun pohon ini dapat bertahan hidup. Dalam segala musim, daunnya tetap hijau dan tumbuh subur. Seolah-olah temperatur dingin tidak berpengaruh sama sekali terhadap pertumbuhannya. Pohon aras adalah pohon yang sangat kuat dan tahan uji terhadap perubahan cuaca dan usia. Semakin tua, kayunya semakin kuat dan menjulang tinggi.

Apakah yang menjadi penyebabnya? Lirik berikutnya berbunyi demikian, karena: “mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah” (Mzm. 92:14). Akarnya semakin merambah dan mendalam di dalam Tuhan sehingga ia tetap kuat dan memberi hidup yang dampak. Karena itulah, banyak orang datang untuk berteduh sambil meminta nasehat atau mendengar kesaksian hidupnya. Keberhasilan yang diraihnya di masa tua, bukan untuk memberitahukan kepada halayak ramai bahwa ia sudah memiliki asam garam pengalaman hidup, melainkan semata “untuk memberitahukan bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku” (Mzm. 92:16).

Usia tua bukan menjadi faktor penghalang untuk berkarya. Di dunia politik, Golda Meir menjadi Perdana Menteri Israel pada usia 71 tahun. Di dunia seni George Bernad Shaw berusia 92 tahun ketika mengubah sandiwara terakhirnya. Di dunia bisnis, Ray Kroc berusia setengah abad sebagai penjual mesin susu ketika dia memulai Mc Donald. Kini perusahaannya ada di seluruh pelosok jagad. Di dunia pendidikan teologia, Pdt. Dr. Chris Marantika tetap mengajar dan berkotbah walaupun usia sudah semakin senja. Kalau tidak salah Titik Puspa sempat putus asa ketika masih remaja karena menganggap dirinya jelek. Jikalau ada satu penghalang jelas bukan usia, tetapi orangnya sendiri (RRS)
Add caption

Minggu, 08 Juli 2012

Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE - Haruskah Lalang Di Cabut?


Haruskah Lalang Dicabut?
(Refleksi Perumpamaan Tentang Lalang Di antara Gandum)


Yesus sangat perhatian dan piawai dengan dunia flora. Banyak perumpamaan yang dipakai-Nya berhubungan dengan tanaman. Salah satu bagian dari kitab Injil di mana Yesus banyak membicarakan tentang tanaman ada di dalam Matius pasal 13. Perumpamaan tentang lalang di antara gandum tampaknya mendapat perhatian khusus dari Yesus sehingga Ia menjadikan sebagai materi pelajaran yang harus disampaikan-Nya kepada halayak ramai.
Skenario dari narasi perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus adalah sebagai berikut. Di awal episode, Yesus mengumpamakan perihal Kerajaan Sorga bagaikan penabur yang menabur benih yang baik di ladangnya. Tetapi saat malam hari tiba, di kala orang pulas tertidur, datanglah musuh dari tuan pemilik ladang untuk menabur benih lalang di ladang gandum miliknya (Mat. 13:24-25). Kemudian episode dilanjutkan dengan munculnya ke “pentas drama” para pekerja yang siap melontarkan pertanyaan kepada tuan sang pemilik ladang gandum. Adalah hal yang menarik untuk mencermati pertanyaan yang diajukan oleh para hamba tuan ladang, karena anda akan menemukan jawaban yang menakjubkan. Mari kita cermati kelanjutan ceritanya.
Kehadiran Lalang di tengah ladang gandum tampaknya menimbulkan dua pertanyaan. Pertama,  perihal, “dari manakah lalang itu?” (lihat Mat. 13:27). Pertanyaan secara lugas dijawab, bahwa: benih lalang ditaburkan pada malam hari saat orang tertidur, tentu sebagai maksud dari kejahatan terselubung (Mat. 13:25). Penegasan Yesus kian menguatkan fakta bahwa lalang itu bukan berasal dari kebaikan, tapi dari kejahatan dan benihnya ditaburkan di ladang gandum oleh para musuh (lihat Mat. 13:25, 28). Walaupun gandum dan lalang sama-sama sebagai tanaman rumput serta berada di lingkungan yang sama, tetapi mereka berbeda dalam fungsi serta asal muasalnya.
Gandum dan Lalang adalah dua tanaman yang sangat mirip, tetapi sebenar-nya sangat berbeda. Serupa dari sisi jenisnya, tetapi tak sama dari sisi fungsinya. Gandum adalah makanan pokok yang sangat berguna bagi manusia, sedangkan lalang sama sekali tidak berguna. Lalang hanya menjadi makanan yang hanya diberikan untuk binatang, bukan untuk manusia.
Gandum adalah representasi dari manusia yang kehadirannya memberi dampak positif bagi lingkungannya, berbeda dengan lalang yang fungsinya merusak dan meresahkan lingkungan di mana ia berada. Gandum menggambarkan kebaikan, sementara lalang adalah gambaran kejahatan. Gandum identik dengan berkat atau sesuatu yang berfaedah, sedangkan lalang identik dengan laknat atau sesuatu yang tidak berfaedah.
Lalang hidup dengan cara lebih banyak menyerap sari makanan dari tanah, sehingga berdampak mengganggu pertumbuhan gandum. Hal ini hendak menegaskan bahwa lalang mengidentifikasikan pribadi yang memiliki sifat serakah dan tamak karena tidak mampu untuk berpuas diri. Sebaliknya gandum mengidentifikasikan pribadi yang memiliki sifat mengalah dan mampu untuk mencukupkan diri.
Sayangnya lalang dan gandum baru dapat dibedakan ketika bulir-bulirnya muncul. Hal ini sebagai sinyalemen, terkadang sulit membedakan antara yang baik dan jahat, seperti susahnya membedakan antara lalang dengan gandum. Tetapi ada waktunya di mana “bulir-bulir gandum” atau kebenaran akan muncul, sehingga terlihat jelas mana yang gandum dan mana yang lalang. 
Umat Allah yang digambarkan sebagai gandum harus makin bertambah kuat agar tidak terjangkit “virus lalang” yang berada di sekitarnya. Jangan pusingkan kehadiran lalang, tetapi pikirkanlah bagaimana harus bertumbuh agar makin berkualitas, berdampak, teruji dan terpercaya. Tuhan tidak suruh gandum untuk menghancurkan atau mencabut lalang dari lingkungan di mana ia berada. Tuhan juga tidak memerintahkan malaikat untuk datang mencabutinya. Lalang bukan untuk dimusuhi apalagi diperangi, melainkan dikasihi dan dihadapi dengan penuh kesabaran. Meskipun lalang harus tumbuh di antara gandum, tetapi gandum harus makin bertumbuh kuat dan meranum.
Pertanyaan kedua, “Jadi maukah tuan supaya kami mencabut lalang itu?” (lihat Mat. 13:28). Menariknya dalam perumpamaan ini, ditegaskan pelarangan untuk mencabutnya sebagai maksud untuk menjaga agar gandum tidak sampai ikut tercabut (Mat. 13:29). Karena itulah, Yesus membiarkan agar lalang dan gandum bertumbuh secara bersama hingga waktu menuai tiba (Mat. 13:30).
Menceramati secara seksama, saya menemukan tiga kebenaran mendasar yang terkandung dalam perumpaan tentang lalang di antara gandum. Pertama, melalui perumpamaan ini, Yesus menetapkan suatu larangan di mana lalang tidak boleh dicabut dari ladang gandum. Lalang dan gandum harus dibiarkan hidup bersama di ladang yang sama. Artinya, kejahatan itu bukan untuk dicabut atau dilenyapkan dari dunia ini atau dari lingkungan di mana orang percaya berada, tetapi diredam atau diantisipasi laju dan modus kejahatannya. Kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan. Pembalasan kejahatan adalah hak prerogative Allah, bukan hak yang harus dilakukan oleh manusia (band. Rm. 12:17-18). Kita harus hidup dalam konstitusi dan umat Allah harus menyerahkan kasus kejahatan dengan hukum atau konstitusi yang sudah berlaku dan memberikan wewenang kepada pelaku hukum untuk menindaknya.
Setelah manusia jatuh dalam dosa, kejahatan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tetapi haruslah kita sadari bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan atau membuat kejahatan di dunia ini. Seperti halnya asal dan tujuan lalang tersebut, maka kejahatan datangnya dari si jahat, bukan dari Allah. Lalang adalah rekan sekerja dan menjadi alat yang dipakai oleh si jahat untuk membuat dunia ini penuh dengan kejahatan. Selama iblis atau si jahat masih ada di muka bumi ini, maka kejahatan itu pastilah selalu ada. Bila anda ingin melenyapkan kejahatan dari dunia ini maka iblis yang seharusnya dilenyapkan, bukan lalang atau manusia yang berlaku jahat oleh karena tipu daya dari si jahat.
Mungkin anda berkata, mengapa Tuhan tidak turun tangan untuk melenyapkan kejahatan dari dunia ini? Sifat utama Allah adalah menyelamatkan, bukan melenyapkan atau membinasakan. Oleh karena kasih setia-Nya sehingga Ia mau mengalah, tetapi tidak akan pernah terkalahkan. Sepertinya Tuhan membiarkan kejahatan itu ada, karena sesungguhnya Dia hendak menyatakan kebaikan di tengah-tengah kejahatan yang tengah melanda.
Pelarangan mencabut lalang sebagai bukti bahwa Allah menentang arogansi atau “pencabutan” hak azasi manusia. Di negara yang mengusung faham demokrasi, arogansi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah tindakan biadab dan tidak manusiawi. Marilah kita masuk kepada realita kehidupan. Ketika seorang pendeta melakukan kejahatan moral, biasanya ada dua keputusan yang mana salah satunya akan dijatuhkan kepadanya. Pertama, jabatan atau posisinya sebagai pendeta dicabut, maka secara otomatis fungsinya sebagai pendeta pun dinon-aktifkan, atau istilah umumnya dipecat. Kedua, jabatan atau posisinya sebagai pendeta masih diberlakukan, tetapi fungsinya yang dinon-aktifkan untuk sementara waktu hingga konsekuensi hukumannya berakhir, atau istilah umumnya diskor. Bila anda diberi wewenang untuk memutuskan perkara ini, jangan pernah abaikan pengajaran Yesus tentang perumpamaan lalang di antara gandum.
Begitu pula ketika orang yang kita muridkan berbuat dosa. Apakah statusnya sebagai murid dicabut, lalu ia dipecat sehingga tidak berhak untuk mengikuti kelas pemuridan? Atau, statusnya masih tetap sebagai murid dan berhak penuh untuk mengikuti kelas pemuridan, tetapi diberi disiplin agar ia menyadari perbuatannya yang tidak mencerminkan keberadaannya sebagai seorang murid Kristus? Di antara dua kasus di atas, saya sangat menyetujui keputusan yang diambil adalah pilihan kedua. Bukankah seperti itu makna yang terkandung dalam perumpamaan ini?
Kedua, melalui perumpamaan ini, manusia diberi suatu kesempatan untuk memposisikan diri sebagai lalang atau gandum? Pantaslah bila Yesus dikatakan sebagai Guru agung. Ia bukan semata cakap dalam memilih materi pelajaran dan trampil dalam penguasaan metode pengajaran, tetapi kehidupan-Nya juga adalah ajaran yang hidup. Yesus tidak hanya sekedar berwacana, tetapi juga menerapkan apa yang dikatakan-Nya, seperti yang telah diperbuat kepada seluruh murid-Nya, khususnya kepada Yudas Iskariot.
Dengan kemaha-tahuan-Nya pastilah Yesus mengetahui bahwa Yudas adalah lalang, tetapi lalang itu dibiarkan-Nya berada bersama dengan gandum dalam ladang yang sama. Yesus menegur, menyindir, bahkan menghardik perbuatan Yudas sebagai suatu disiplin, tetapi bersamaan dengan itu pula Yudas diberi kesempatan untuk berubah dan menyesali perbuatannya. Apakah Yesus gagal karena Yudas murid-Nya itu tidak mau berubah? Tidak! Pada akhirnya, Yudas sangat menyesali perbuatan dosanya, bahkan ia mengembalikan uang dari hasil penghianatannya (lihat Mat. 27:3-5). Yang sangat disayangkan bukan penyesalan Yudas yang terlambat, karena penjahat yang disalib bersama Yesus juga bertobat mendekati saat kematiannya, tetapi yang sangat disesali adalah tindakan bunuh diri yang dilakukannya (band. Kis. 1:18).
Negara kita Indonesia masuk dalam lima besar negara yang tertinggi tingkat korupsinya. Saya sangat menyambut baik upaya pemerintah untuk memberantas korupsi, tetapi kalau sistem kerjanya tidak diperbaiki, maka korupsi akan terus terjadi, bahkan modus operandinya kian bertambah canggih. Melalui perumpamaan ini Yesus Kristus sama sekali tidak menentang hukum yang harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, tetapi memberi penekanan bahwa yang harus mendapat perhatian dan pengupayaan secara intensif adalah “sistem pengolahan ladang” dan “perawatan gandum yang ada di ladang.” Hal seperti itulah yang menginspirasi lahirnya pernyataan bijak seperti, “There’s no good society, without good men” (tanpa manusia baik, tidak akan pernah tercipta pemerintahan yang baik) atau “the right man in the wrong place” (manusia benar di tempat yang salah). Karena itulah, sistem yang dipergunakan perlu mendapat perhatian secara seksama.
Secara pribadi, ada dua hal di mana saya bersikap radikal, tentunya sikap radikal ini didasari oleh keyakinan saya terhadap Alkitab yang saya percayai sebagai kebenaran mutlak. Pertama, menentang keras upaya yang bersifat korupsi karena itu perbuatan yang menyengsarakan masyarakat banyak. Kedua, menentang keras diberlakukannya hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan kejahatan, termasuk juga koruptor. Mungkin anda bertanya, lewat jalur mana anda menentangnya? Ada wadah khusus yang disediakan bagi saya untuk menyatakan kebenaran yang saya yakini. Bisa, melalui mimbar saat saya berkotbah atau melalui kampus tempat di mana saya mengajar atau melalui tulisan yang sedang anda baca saat ini. Tetapi belum tuntas mengenai apa yang hendak saya sampaikan. Pastinya, saya akan lebih bersikap radikal bila koruptor yang tidak dihukum mati itu bisa seenaknya keluar dari penjara hanya semata untuk menyaksikan pertandingan tennis atau kongkow dengan keluarga dan handai taulannya. Wah itu lebih menyakitkan hati. Nah, makanya Yesuslah yang benar, sistem peradilan dan penanganan terhadap para hukuman perlu mendapat perhatian yang lebih seksama. Bukankah sistem yang baik akan memperkecil kejahatan yang ada? Dan pastinya, sistem yang baik akan memberi kesempatan bagi yang jahat untuk menjadi baik.
Begitu pula dengan kerukunan umat beragama. Sia-sia kita ngomong dan mengupayakan kerukunan bila di dalam hati masih melekat “stigma negatif” terhadap agama atau kepercayaan yang berbeda dengan kita. Saya prihatin melihat gereja dilarang beribadah karena persoalan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Menurut saya sangatlah wajar bila ijin mendirikan gedung usaha perlu dikaji secara seksama, tetapi mendirikan gedung ibadah proses perijinannya seharusnya bersifat praktis dan taktis, tanpa mereduksi nilai-nilai yuridis tentunya.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan enam agama yang telah mendapat pengakuan negara, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu memiliki hak yang sama untuk beribadah kepada Tuhan serta menjalankan syariat agamanya masing-masing. Menurut hemat saya, yang perlu mendapat perhatian secara seksama adalah implementasi dari agama tersebut, bukan institusinya. Bila umat dari suatu institusi agama berbuat kejahatan, bukan institusinya yang ditutup melainkan ajaran, pengajar atau pelaku agamanya yang perlu direvisi dan ditindaklanjuti agar tetap konsisten dalam konstitusi dan panggilannya. Kewajiban aparat terkaitlah yang melakukan pembinaan, bukan pembinasaan!
            Tampaknya “drama” perumpamaan tentang lalang di antara gandum masih “to be continue” belum “the end” dan saya yakin anda tidak beranjak dan mengganti channel yang ada. Episode dilanjutkan kembali dengan tema rasa ingin tahu dari para murid sehingga mereka meminta Yesus untuk menjelaskan lagi maksud dari perumpamaan yang telah disampaikan-Nya (lihat Mat. 13:36-42). Dengan bahasa yang lugas dan sederhana Yesus menjawab, bahwa: orang yang menabur benih baik itu adalah diri-Nya. Ladang adalah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan Allah dan lalang adalah anak-anak si jahat. Sementara musuh yang menabur benih lalang itu adalah iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai adalah mailaikat Allah (lihat Mat. 13:37-39). Tampaknya jawaban Yesus memberikan kejelasan, karena tidak ada pertanyaan lanjut yang dilontarkan oleh murid-murid-Nya.
            Ketiga, melalui perumpamaan ini, manusia diingatkan akan adanya kelak suatu masa yang dinamakan akhir zaman. Seperti kebanyakan kisah drama, di mana jagoannya selalu menang di bagian akhir (happy ending). “Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam kerajaan Bapa mereka” (Mat. 13:43a). Episode akhir dari “drama” perumpamaan tentang lalang di antara gandum, merupakan kisah tragis yang sangat mencekam dan menakutkan tentang nasib akhir yang akan dialami oleh penabur lalang beserta dengan kroni-kroninya (lihat Mat. 13:40-43).
Perihal “akhir zaman” ditanggapi oleh masyarakat modern dengan beragam sikap. Ada kelompok masyarakat yang mempercayai keberadaan dan realitas akhir zaman, tetapi salah dalam penerapannya. Mereka sibuk mencari tahu perihal tanggal kepastian mengenai peristiwa akhir zaman, padahal hanya Allah semata yang mengetahui kapan kepastiannya? Kita harus meyakini bahwa akhir zaman pasti akan terjadi, tetapi tidak ada seorang pun dapat memastikan tanggal kepastiannya. Bila ada yang merasa dapat memastikannya, sesungguhnya orang itu adalah pendusta belaka!
Kelompok masyarakat lainnya, berusaha menolak keberadaan dan realitas neraka dengan sikap yang berbeda. Yang bersikap agak halus, akan berkata, “Allah itu ada, tetapi Ia adalah Allah yang penuh kasih sehingga Ia tidak akan dan tidak mungkin menyuruh seseorang ke neraka.” Ada juga yang bersikap mengejek dengan pongahnya sambil berkata, “Allah mungkin ada, tetapi bodohlah untuk memikirkan tentang banyak sekali roh tanpa tubuh yang tersiksa dalam suatu lautan api sesungguhnya di suatu tempat.” Dan yang terang-terang menentang adanya neraka, seperti Ateis Robert G. Ingersoll dengan sinis mengatakan, “Ide tentang neraka lahir dari keinginan untuk membalas dendam serta kekejaman di satu pihak, dan kepengecutan di pihak lain... Aku tidak menaruh respek kepada orang yang memberitakan hal tersebut... Aku tidak menyukai doktrin ini, aku membencinya, aku tidak menghargainya, aku menentang doktrin ini!” (H.L. Willmington, Eskatologi. Malang: Gandum Mas, 1994, hal. 332).
            Manusia cendrung meragukan akan sesuatu yang bersifat supra natural, mungkin karena tidak dapat dilihat secara kasat mata. Tetapi apakah sesuatu yang bersifat supra natural itu sesungguhnya tidak ada, atau karena faktor tidak tahu? Apakah sesuatu yang tidak dapat kita ketahui, itu pasti tidak ada? Apakah sesuatu yang tidak dapat kita lihat, harus ditolak dan tidak perlu untuk dipercayai?
Ambillah satu contoh. Bisakah anda memperlihatkan kepada saya letak hati nurani di dalam diri manusia, atau posisi pikiran tepatnya terletak di mana? Saya yakin anda pasti dapat memastikan bahwa otak berada di kepala, begitu pula dengan hati yang berada di bagian dalam tubuh kita. Alangkah naifnya, bila anda tidak mempercayai adanya hati nurani atau pikiran dalam diri manusia sehingga mengatakan bahwa keberadaannya tidak ada. Lebih naif lagi, bila anda mengartikan bahwa itu berupa kiasan yang harus ditafsirkan secara simbolis atau alegori. Mungkin didasari akan hal itulah, maka Yesus mengakiri perumpamaan-Nya dengan kalimat seru, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (lihat Mat. 13:43b).

Kamis, 05 Juli 2012

Kok Allah Menyesal - Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE


Kok Allah Menyesal Menjadikan Manusia?


“.. Maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya” (Kejadian 6:6)

            Ada pernyataan berbunyi demikian, “penyesalan selalu datang belakangan. Maksudnya ialah, seseorang akan menyesal terhadap sesuatu karena ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa sesuatu itu akan terjadi demikian. Bila seseorang mengetahui pada awalnya, maka apapun yang akan terjadi, ia tidak akan pernah menyesalinya. Hal inilah yang diartikan sebagai penyesalan.
       Apa maksud dari ungkapan, “Allah Menyesal” dalam ayat ini? Apa memang Allah tidak dapat mengetahui apa yang terjadi kelak terhadap manusia sehingga Ia menyesal? Bila anda beranggapan demikian, maka anda sudah menyatakan bahwa Allah itu bukanlah Allah yang maha tahu! Lalu, bagaimana bila dikaitkan dengan pernyataan Paulus dalam Roma 11:29, bahwa: “Ia tidak menyesali. Apakah ada indikasi bahwa Ia adalah Allah yang tidak konsisten dengan pernyataan-Nya? Apakah memang pantas bila kita mengatakan bahwa ayat-ayat di dalam Alkitab itu kontradiksi satu sama lain. Benarkah demikian?
     Dalam kelas Antropologi di Sekolah Tinggi Theologi, saya selalu mengajarkan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (band. Kej. 1:26). Itu berarti ada kesamaan antara manusia dengan Allah, bukan? Kesamaan itu tentunya bukan kesamaan jasmani, karena Allah itu adalah Roh. Kesamaan antara Allah dan manusia adalah kesamaan moral, sosial dan mental. Tetapi kenyataannya, manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah itu malah memilih untuk hidup tidak bermoral dan berdosa di mata Allah.
     Hal itu berawal dari dosa amoral yang dilakukan oleh Adam dan Hawa (Kej. 3:18-19), kemudian dilanjutkan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh keturunannya, yakni Kain (Kej. 4:6-12). Ini pembunuhan terbesar dan yang pertama di dunia karena menelan korban seperempat penduduk bumi (karena memang hanya empat orang jumlah manusia di bumi pada saat itu. Maaf ini hanya kelakar). Generasi berikutnya, Lamekh juga menjadi pembunuh (Kej. 4:23). Alkitab menginformasikan bahwa eskalase kejahatan manusia terus mengalami peningkatan secara signifikan (Kej. 6:5), seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia pada saat itu (Kej 6:1). Dengan kondisi kehidupan manusia seperti itu, maka akibatnya Allah berkata, “menyesal telah menjadikan manusia.”
     Guna pemahaman secara komprehensif atas pernyataan ”Allah menyesal” dalam Kejadian 6:6 ini, sebaiknya kita mencermati alur gagasannya terlebih dahulu. Pertama, gagasan dalam Kejadian 6:1-4: Kejahatan manusia adalah suatu kenyataan. Kedua, gagasan dalam kitab Kejadian 6:5-7: Keadilan Allah atas kejahatan adalah suatu kenyataan. Dan ketiga, gagasan dalam kitab Kejadian 6:8: Kasih Allah atas kejahatan manusia adalah suatu kenyataan.
     Kejadian 6:1-4, merupakan eksposisi atas penjelasan tentang kejahatan yang manusia lakukan di muka bumi. Alkitab memberi penegasan bahwa kejahatan manusia semakin bertambah banyak (lihat Kej. 6:5). Selain kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kain dan Lamekh (band. Kej. 4:6-12, 23), salah satu kejahatan yang telah dilakukan oleh manusia adalah perkawinan campur di antara garis keturunan Ilahi dan nir Ilahi (band. Kej. 6:2).
     Secara jelas kitab Kejadian mengungkapkan bahwa kejahatan anak-anak Allah bukan sekedar perkawinan campur semata, tetapi juga berpoligami. Pernyataan, “siapa saja yang disukai” dalam Kejadian 6:2, menegaskan bahwa perkawinan secara poligami merupakan kejahatan besar di mata Allah, terlebih lagi bila berpoligami dengan garis keturunan yang berbeda. Mengapa demikian? Karena Allah mendesign perkawinan atas umat-Nya secara monogami dan sepadan dalam pengertian di sini seiman dan memiliki garis keturunan Ilahi yang sama. Hal ini kian dipertegas dengan ungkapan satu daging dalam Kejadian 2:24 yang mana istilah ini hanya dipakai untuk hubungan suami istri yang monogami (band. Mat. 19:5; Ef. 5:31). Kemudian, kata “kejahatan” dalam Kejadian 6:5, diterjemahkan dari kata Ibrani: “ra” yang mana kata ini  menunjuk kepada tingkah laku yang tidak diperkenankan oleh Tuhan (band. Bil. 32:13; Ul. 4:25; 9:18; Hak. 2:11; 3:7, 12). Kejahatan seperti itulah yang dimaksudkan sebagai dosa terhadap Allah yang diungkapkan secara tegas oleh Yusuf ketika isteri Potifar mencoba mengajaknya untuk berzinah (baca Kej. 39:9).
     Bagian kedua dari alur gagasan Kejadian 6:5-7, di awali dengan inisiatif Allah dalam melihat dan meresponi kejahatan yang telah dilakukan oleh manusia. Kata "melihat" dalam Kejadian 6:5 diterjemahkan dari kata Ibrani "raah" yang berarti memandang dan mempertimbangkan sikap terciptanya suatu dosa. Maksudnya adalah, Allah tidak sewenang-wenang menjatuhkan murka-Nya, tetapi terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dan pengamatan terhadap dosa yang sudah diperbuat oleh manusia itu sebelum menjatuhkan hukuman (band. Kej 11:5; Kel. 3:7, 9; 4:31).
     Sebagai akibat dari kejahatan yang telah diperbuat oleh manusia, di mana Allah melihat sendiri perbuatan dosa umat-Nya, maka menyesal Allah (band. Kej. 6:6). Apa maksudnya Allah menyesal dalam hal ini? Kata “Allah menyesal” sering menjadi diskusi hangat. Di sisi lain ada ungkapan dalam Perjanjian Lama bahwa Allah tidak pernah menyesal (lihat I Sam. 15:29; Bil 23:19; Yer. 4:28; Yeh. 14:24). Tetapi dalam Kejadian 6 atau bagian lain berulang-ulang dikatakan bahwa Allah menyesal (band. Kel. 32:14; I Sam. 15:11, 35; II Sam. 24:16; Yer. 18:8,10; 26:19; 42:10; Am. 7:3,6; Yun. 3:10; 4:2 dan I Taw. 21:15). Oleh karena itu marilah kita cermati lebih lanjut secara seksama.
     Kata “menyesal” dalam ayat 6, diterjemahkan dari kata Ibrani “wayyinakhem” dengan stem Niphal imperatif, yang secara gramatikal memiliki pengertian bahwa Allah menyakiti atau menyedihkan hati-Nya. Allah sangat menderita oleh karena dosa yang telah dan tengah diperbuat oleh umat-Nya. Dan kesedihan atau kesakitan yang dialami oleh Allah itu disebabkan oleh dosa manusia yang memperburuk dan merusakkan ciptaan-Nya (band. Yes 43:24b), membuat Ia menyesal. Jadi, kata “menyesal” dalam Kejadian 6:6-7 bukan berarti Allah merubah pikiran atau kapok atau tobat atau kata yang sejenis dengan itu. Dalam teks asli, kata ini menggambaran perihal seseorang yang sakit perut atau eneg atau yang sejenis dengan itu. Akibat melihat kejahatan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, maka Allah menjadi sakit perut atau eneg, seperti itulah penggambarannya. Dalam Perjanjian Baru, kata "menyesal" dalam ayat ini sejajar artinya dengan apa yang diungkapkan oleh Paulus, yakni "mendukakan Roh Kudus" (band. Ef. 4:30).
     Penyesalan Allah selalu menunjuk kepada keadilan dan kasih-Nya. Allah yang sebagai hakim itu (band. Kej. 16:5; I Sam. 24:13; Mzm. 7:9; 50:6; Yes. 33:22) akan membalaskan kejahatan yang setimpal kepada umat-Nya. Allah tidak dapat kompromi dengan dosa karena Ia sendiri sebagai penuntut segala macam dosa – pembalas (band. Ul. 32:35, 41; Mzm. 94:1; Yes. 34:8, 35:4). Ia menciptakan manusia dalam keberadaan sungguh amat baik (Kej. 1:31). Tentunya, Allah mengharapkan manusia hidup secara baik dalam pandangan-Nya. Manusia diciptakan oleh Allah tanpa dosa, ekspektasinya agar manusia tidak hidup dalam dosa. Dosa itulah yang dibenci oleh Allah. Dosa itulah yang membuat manusia terpisah dan menerima hukuman Allah. Dan dosa itu pulalah yang membuat Allah “eneg” atau menjadi “sakit perut.
     Mungkin timbul kesan negatif, apakah Allah tidak mengasihi manusia ciptaan-Nya sehingga Ia memberi penghukuman? Tentulah, Allah tetap mengasihi manusia ciptaan-Nya, tetapi Ia juga adalah Allah yang tidak terikat kepada ciptaan-Nya. Karena itulah, maka penghukuman Allah tidak dapat dielakkan. Saat penghukuman dijatuhkan maka secara otomatis Allah merasa sakit atau sedih melihat manusia menerima hukuman daripada-Nya bersamaan dengan rasa sakit yang dirasakan-Nya akibat kejahatan yang diperbuat oleh manusia yang sangat dikasihi-Nya itu. Jadi, penghukuman Allah terhadap manusia berdosa didasari oleh kasih dan keadilan Allah. Walter Lempp menanggapi hal ini dengan berkata: Tetapi oleh sebab rencana-Nya yang baik untuk manusia itu diganggu oleh manusia, Allah marah, oleh sebab Ia mengasihi manusia. Hukuman-Nya hanya merupakan satu segi dari kasih sayang-Nya.
     Bukti bahwa Allah tetap mengasihi manusia dapat di lihat dengan keberadaan Nuh. Nuh di mata Allah sebagai orang benar dan mendapat kasih karunia Allah (band. Kej. 6:9; 7:1). Di tengah situasi dan kondisi yang penuh dengan kejahatan, Nuh tetap hidup benar di mata Tuhan. Situasi dan kondisi tidak mempengaruhinya, malah ia berusaha mempengaruhi orang agar meninggalkan kejahatan, meskipun ia diolok dan direndahkan. Hingga pada akhirnya, melalui Nuh peradaban dan kelangsungan manusia boleh kembali tercipta. Penyelamatan terhadap Nuh yang merupakan kasih karunia, membuktikan bahwa Allah tetap mengasihi manusia ciptaan-Nya. Ia membenci dosa manusia, tetapi Ia mengasihi pribadi manusia berdosa. Bilamana manusia berdosa mau bertobat dan mengakui segala dosanya, maka Allah akan mengampuni dan memulihkannya (band. II Taw. 7:14; I Yoh. 1:9).
     Suatu hari seorang rekan bertanya kepada saya dengan sebuah pertanyaan yang menarik untuk dicermati, “Bisa atau tidak orang Kristen hidup kudus?” Spontan saya menjawab, “bisa!” Kalau tidak bisa untuk apa Allah memerintahkan agar kita hidup kudus? Lalu ia kembali bertanya, “Bisa atau tidak orang Kristen tidak berdosa?” Terdiam sejenak untuk merenungi pertanyaannya, lalu saya menjawab, “tidak bisa! Karena pada hakekatnya hanya manusia Yesus Kristus dari Nazareth yang sama sekali tidak berdosa.
     Lalu kedua pertanyaan di atas mengingatkan saya tentang gambaran yang dipakai oleh Petrus perihal “babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya” (lihat 2 Ptr. 2:22). Saya ajak anda untuk melihat perbandingan antara babi dan domba. Suatu ketika domba dan babi yang tengah menapaki perjalanan jatuh terjerembab ke dalam kubangan lumpur akibat dari kecerobohannya.
     Respon dari kedua binatang yang jatuh ke dalam kubangan lumpur itu sangat perlu untuk kita renungkan. Ketika domba jatuh ke dalam kubangan lumpur, maka secara spontan ia akan berusaha untuk ke luar dari kubangan itu karena domba adalah binatang yang tidak suka dengan hal yang kotor. Lain halnya dengan binatang babi. Babi malah asyik menikmati dan sama sekali tidak berinisiatif untuk ke luar dari kubangan lumpur itu karena memang babi adalah binatang yang suka dengan kubangan lumpur yang kotor. Kemungkinan itu yang menjadi alasan kenapa gereja Tuhan digambarkan sebagai Domba, bukan Babi! Jadi, gereja Tuhan bisa saja jatuh dalam dosa, tetapi ia akan segera bangkit dan tidak tenggelam dalam kubangan dosa karena pada dasarnya ia sudah tidak terikat lagi dengan belenggu dosa. Kalaupun ia terjatuh ia tidak akan tergeletak.
     Apa pelajaran rohani yang dapat kita petik melalui topik pembahasan ini? Ada dua hal yang perlu untuk kita hayati secara seksama. Pertama, bila saat ini kita terjatuh dalam kubangan lumpur dosa, maka jangan menunda waktu, segeralah bangkit untuk keluar, bila tidak maka Allah akan menyesaljadinya.
     Kedua, jangan coba menjalin cinta dengan seseorang yang tidak seiman, karena tidak mungkin gelap dan terang dapat bersatu. Mungkin anda berkata, “kan saya hendak memenangkan jiwa?” Sebaiknya jangan coba bermain api, takutnya anda terbakar nantinya. Klaim lah firman Tuhan, bahwa: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Pastilah, Tuhan menciptakan manusia itu untuk berpasangan-pasangan, terkecuali bagi mereka yang terpanggil untuk hidup melajang – calibacy (band.1 Kor. 7:7-8; Mat. 19:12). Singkat kata, jalinlah cinta dan nikahilah seseorang yang hidup takut akan Tuhan, bukan karena bebet, bobot dan bibitnya. Niscahya, anda akan merasakan nikmatnya pernikahan yang luhur dan akbar ini.
     Di dasari oleh kasih, maka sekitar dua ribu tahun yang lalu Allah menjadi manusia dan mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita. Karena panjang dan dalam kasih-Nya maka sepertinya Allah tidak peduli atas dosa yang kita perbuat. Tetapi bila kita terus menerus mengeraskan hati, maka ada saatnya Allah akan “menyesal” sehingga Ia menyatakan keadilan-Nya dengan menjatuhkan penghukuman atas dosa yang kita perbuat. Oleh karena itu berjaga-jagalah sebab “ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup” (Ibr. 10:32).