Minggu, 04 November 2012

Pdt. Rudy Sirait, S.Th, MA.CE - Bekerja Rangkap, BolehKah?

Bekerja Rangkap, Bolehkah?
(Refleksi Injil Matius 6:24)


Syalom Pak Rudy Sirait... Ijinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Julius Antonio. Asal saya dari Kupang, tetapi sudah tujuh tahun saya menetap dan bekerja di kota Jakarta. Untuk mencukupkan kebutuhan, maka saya bekerja rangkap di dua perusahaan swasta yang berbeda. Pagi hingga siang hari saya bekerja sebagai tenaga IT, lalu sore hari hingga pukul 22.00 WIB saya bekerja sebagai tekhnisi.
Kemarin saya merenungkan firman Tuhan dalam Matius 6:24, yang berbunyi seperti ini: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Jujur saja, setelah membaca ayat ini saya agak sedikit bingung dan bertanya dalam hati, apakah salah bila saya bekerja rangkap? Sepertinya, saya tidak pernah membeda-bedakan etos kerja saya, baik pada perusahaan yang satu maupun yang lainnya. Saya bekerja dengan semangat dan sepenuh hati. Apakah ada indikasi bahwa perkataan Yesus dalam ayat ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi dunia kerja saat ini? Mohon penjelasannya pak Rudy. Terima kasih banyak. Tuhan memberkati pak Rudy sekeluarga (Julius Antonio - Jakarta).

Syalom juga pak Julius. Pertanyaan anda sangat baik dan saya bangga karena di tengah kesibukan kerja yang padat, anda masih punya waktu untuk merenungkan firman Tuhan. Saya menaruh respek karena anda berusaha menyelidiki firman Tuhan untuk memastikan kebenarannya. Semoga jawaban saya dapat menjawab apa yang anda pertanyakan.
Untuk memahami Injil Matius 6:24, perlu dicermati secara seksama perihal dua kata yang terdapat di dalamnya. Pertama, kata “abdi.” Hubungan yang dimaksudkan oleh Yesus di sini adalah hubungan antara tuan dengan abdi, bukan antara atasan (direksi) dengan bawahan (pegawai). Di era Yesus hidup, seorang abdi secara hukum tidak memiliki hak. Dia milik tuannya semata dan tuannya dapat berbuat apa saja yang dimaui terhadapnya. Abdi, budak atau hamba tidak berhak untuk menolak, apalagi sampai menuntut tuannya. Dalam kenyataannya, tidak ada satu orang hamba milik dua tuan. Frase “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan” menegaskan tentang kenyataan kepemilikan tunggal seorang hamba.
Abdi juga tidak memiliki waktu, sepenuh waktunya hanya untuk tuannya. Dia dituntut untuk bekerja rangkap, bahkan serabutan tetapi hanya kepada satu tuan saja (band. Luk. 17:7-8). Kesiap-siagaan selama 24 jam serta keharusan melaksanakan pekerjaan adalah tuntutan mutlak perhambaan. Setiap orang Kristen adalah abdi Allah, sementara Allah adalah Tuan-nya. Kita harus mengabdi hanya kepada Allah. Di era masa kini yang menentang perbudakan manusia, tidak jadi soal manusia memiliki dua majikan, tetapi Tuan (Pemiliknya) tetap harus satu.
Kata yang kedua, adalah “Mamon.” Awal mulanya kata “Mamon” memiliki makna yang positif, tetapi selanjutnya bergeser maknanya menjadi negatif. Kata “Mamon” berasal dari kata Aram yang berarti “harta milik bendawi.” Tidak ada yang salah dalam kepemilikan harta benda, karena harta benda juga merupakan titipan Tuhan. Uang bersifat netral dan tidak berdosa, tetapi cinta uang itu adalah akar segala kejahatan (lihat 1 Tim. 6:10). Orang Kristen tidak boleh menjadi hamba uang (2 Tim. 3:2; Ibr. 13:5).
Demi keamanan terhadap kepemilikan harta benda maka orang-orang pada saat itu mempercayakan mamon atau harta milik bendawi mereka kepada seseorang atau suatu lembaga untuk dijaga. Seperti halnya manusia saat ini yang menyimpan uang di Bank agar aman. Tetapi pengaruh Mamon telah mempengaruhi masyarakat pada saat itu secara luar biasa, mereka bukan lagi mempercayakan mamon mereka, tetapi mempercayai. Mamon yang semata bendawi itu berubah menjadi ilah; bukan lagi sebagai sarana, melainkan sesembahan. Mamon searti dengan “kekayaan yang tidak halal.”
Akar kata “Mamon” adalah “mn” yang mana kata “amin” atau “iman” juga berasal dari akar kata yang sama, yang artinya: “yang pasti, yang dapat diandalkan, yang bertahan.” Tampaknya manusia memiliki kecendrungan untuk mempercayai “Mamon” karena itulah maka Yesus memberi peringatan keras agar manusia mengabdi hanya kepada Allah, bukan kepada Mamon. Allah dan Mamon disejajarkan dalam hal ini, bahkan ditulis dengan huruf besar, agar mendapat perhatian secara seksama.
Pekerjaan sekular adalah penting dan berharga di mata Allah, selama pekerjaan itu tidak bertentangan dengan Alkitab yang adalah firman Allah. Alkitab adalah dasar atau acuan dalam memaknai dunia pekerjaan. Alkitab relevan dalam segala situasi dan kondisi, bagian kita hanya mencari relevansinya. Secara tegas Alkitab memberi pandangan yang mulia terhadap pekerjaan sekular (high view of work). Kontras dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa manusia bekerja karena kutukan dewa, atau pandangan duniawi yang sangat merendahkan harkat dari pekerjaan (low view of work). Umat Kristen bekerja karena kesegembaran dengan Allah, bukan karena keharusan tragis atau karena kutukan dewa. He is worker, You and I co-worker. Allah bekerja menciptakan pohon karet, kita menciptakan ban karet; Ia bekerja menciptakan pohon jati, kita menciptakan kursi jati.Kita bekerja sebagai ekspresi kasih, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama.     
Allah kita bekerja dalam enam hari untuk menciptakan langit, bumi dan segala isinya (Kej. 1:31-2:1-3; Kel. 20:9), bahkan sampai sekarang pun Ia masih bekerja (Yoh. 5:17; Rm. 8:28). Yesus banyak berbicara tentang dunia pekerjaan (Mat. 20:1-16; 21:33-46). Dan setiap pekerja layak untuk mendapat upah dari apa yang dikerjakannya (Mat. 10:10; Luk. 10:7; 1 Tim. 5:18). Selain sebagai Rabi, masyarakat saat itu juga mengenal Yesus sebagai tukang kayu.
Begitu pula dengan rasul Paulus. Ia dipanggil dan menerima jabatan rasul bagi orang-orang non Yahudi, tetapi juga bekerja sebagai tukang kemah demi kesinambungan pelayanannya (Kis. 18:3). Perihal etos kerjanya jangan diragukan, rasul Paulus “telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua” (1 Kor. 15:10) dan melakukannya dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23; Flp. 2:14). Dalam suatu peristiwa, rasul Paulus pernah memberi peringatan, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Selain sebagai panggilan ilahi, bekerja adalah cara ofensif terbaik untuk memerangi kemiskinan, memenuhi kebutuhan dan menyumbang bagi orang lain. So, let’s work. RRS