Jumat, 04 Mei 2012

Pdt. Rudy Sirait, S.Th, MA.CE - Jadilah Kaya Tetapi Tidak Menjadi Bodoh


Jadilah Kaya Tetapi Tidak Menjadi Bodoh



(Lukas 12:13-21)



Dalam perikop ini diceritakan tentang seorang kaya yang bodoh dalam pandangan Tuhan Yesus. Jangan sampai keliru memaknainya! Yang dipersoalkan oleh Yesus bukan menjadi kaya, tetapi jangan sampai menjadi kaya tetapi bodoh. Kekayaan moneter atau materi bersifat netral dan tidak dosa, tetapi hati yang dikuasai oleh harta adalah berdosa di mata Allah. Uang tidak haram dan tidak berdosa, tetapi cinta uang itulah yang dikatakan sebagai dosa (band. 1 Tim. 6:10; Ibr. 13:5).
       So, untuk menjadi orang kaya yang tidak bodoh di mata Allah maka ada tiga pertanyaan yang perlu untuk direnungkan dan harus dijawab secara benar. Tiga pertanyaan ini walaupun tidak tersurat di dalam Alkitab tetapi jelas tersirat dan perlu dipahami secara seksama.

Apakah tiga pertanyaan yang memotivasi kita untuk menjadi kaya tetapi tidak menjadi bodoh?


1.  Personal Atau Profesional?

Seorang percaya tidak harus sukses secara profesi tetapi gagal secara personal. Kita harus meraih sukses secara profesi dan secara personal, tetapi yang utama dan terutama haruslah sukses secara personal terlebih dahulu. Hal itulah yang ditegaskan oleh Tuhan Yesus Kristus perihal bahaya dari materi atau moneter yang berpotensi untuk membuat manusia menjadi tamak. Mengingat bahaya yang akan dapat terjadi, maka Yesus berkata: ”Berjaga-jagalah dan waspadalah…” (lihat ayat 15 band. Mat. 6 :33). Gagasan yang ditekankan adalah kewaspadaan untuk tidak memprioritaskan kekayaan yang bersifat materi itu di atas segala-galanya.
Banyak orang menjadi sukses secara profesional, tetapi gagal secara personal. Tidak semua orang percaya mampu untuk sukses secara profesi, tetapi semua orang percaya mampu untuk sukses secara personal. Uang dan materi bukan segala-galanya! Bukankah ada orang yang berkekurangan secara materi, tetapi mampu mensyukuri apa yang diterimanya? Tetapi sebaliknya, ada yang berkelimpahan secara materi, tetapi tidak merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya. Bukankah ini gagal secara personal?
Seorang penghibur bernama Guy de Maupassant berkata, I have coveted every thing, taking pleasure in nothing” (terjemahan bebas: “Aku memiliki segalanya tetapi tidak dapat menikmati satu pun”). Elvis Presley mati karena over dosis Heroin. Sebelum meninggal dunia, ia sempat diwawancarai oleh wartawan. Penampilannya terlihat gemerlap, tetapi ekspresi wajahnya tanpa antusias. Dengan lirih, Elvis berkata: “I’d rather be unconscious than miserable” (terjemahan bebas: “Lebih baik hidup tidak sadarkan diri dari pada sadar dan merasa celaka”). Inilah kehidupan yang tragis dan memprihatinkan!
Mungkin kita bisa meraih kekayaan berlimpah-limpah, tetapi Tuhan Yesus lebih mengingankan karakter kita daripada kekayaan kita. Mata-Nya lebih tertuju kepada hati kita daripada kemapanan dan kenyaman yang kita miliki. Secara tegas Dia mengatakan bahwa “hidup manusia bukan tergantung daripada kekayaan itu” (lihat Luk. 12:15).   

2. Makna Atau Tujuan?

Orang kaya yang dijadikan perumpamaan oleh Tuhan Yesus dalam nats ini adalah seorang yang tahu secara pasti bagaimana mencapai gol atau target yang harus diraih dalam menggapai kesuksesan. Ia memiliki kapasitas untuk mendapatkan kekayaan, menyimpan kekayaan dan memperbesar jumlah kekayaannya (lihat ayat 16-19). Tetapi betulkah kesuksesan seperti itu yang membuat hidupnya bermakna?
Apalah artinya meraih tujuan hidup tetapi tidak mendapatkan makna hidup! Oleh karena itu, sikap kita harus dibingkai dengan suatu kesadaran secara pribadi, ”Apakah yang diinginkan Allah dari diriku?” bukan sekedar, ”Apakah yang akan kudapatkan bagiku?” Ibarat pelari, apakah anda berlari sekedar tetap berlari atau demi tujuan yang lebih tinggi dalam berlari. Ilmuan Albert Einstein pernah berkata, “Jangalah menjadi orang sukses, tetapi jadilah orang bernilai.”
Pencapaian makna hidup selalu berorientasi kepada proses bukan semata kepada tujuan yang hendak dicapai. Makna hidup bukan semata pencapaian aspek materi (to have) atau aspek pengetahuan (to know), tetapi aspek gaya hidup (to be atau being). Karena itulah manusia disebut sebagai human being, bukan human doing. Anda akan kecewa, depresi bahkan bisa melakukan hal yang lebih fatal, yaitu bunuh diri akibat gagal mencapai tujuan. Atau anda akan menghalalkan segala macam cara serta tidak berprikemanusiaan, bila semata hanya demi pencapaian tujuan yang anda hanya inginkan.


3. Kerajaan Allah Atau Kerajaan Bisnis?

Kita adalah warga kerajaan Allah. Alkitab katakan bahwa Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (lihat Rm. 14:17). Kesadaran diri sebagai warga kerajaan Allah memotivasi kita untuk hidup dalam kebenaran, hidup dalam damai sejahtera dan hidup senantiasa bersukacita. Kehidupan seperti itu bukan semata diharapkan, tetapi diupayakan; bukan semata menjadi cita-cita, tetapi diciptakan. Dalam pelaksanaannya tentulah bukan semata didasari oleh tekad dan kemauan pribadi, tetapi bersinergi dengan Roh Kudus yang akan memampukan kita untuk hidup dalam kebenaran; hidup dalam damai sejahtera; hidup bersuka cita; hidup sebagai warga kerajaan Allah.
Orang kaya dalam nats ini asyik membangun kerajaan bisnis, sehingga melalaikan kerajaan Allah. Tegaknya kerajaan Allah di muka bumi ini adalah tanggung jawab setiap orang percaya. Memang, tidak semua orang percaya dapat terlibat dalam perluasan kerajaan binis, tetapi semua orang percaya harus terlibat dalam perluasan kerajaan Allah di muka bumi ini.
Kerajaan bisnis bersifat fana tetapi kerajaan Allah kekal untuk selama-lamanya. Kita hidup di dunia yang fana ini hanya puluhan tahun saja, tetapi milyaran tahun kita akan hidup di dunia kekekalan. Selagi kita masih bernafas, mari jadikan ini suatu kesempatan atau peluang yang harus kita ambil dan upayakan. Kita tidak tahu kapan saatnya, tetapi ada saatnya nafas ini tidak dapat berhembus lagi. Bila nafas kita nanti berhenti, kekayaan bisnis dan materi yang kita miliki akan tertinggal di bumi ini. Nah, kalau begitu, kekayaan apa yang akan kita bawa nantinya?
Bagian akhir dari perumpamaan ini adalah berupa pertanyaan dan pernyataan dari Allah berkenaan dengan kekayaan yang harus kita mengerti dan kita miliki.  Pertanyaan-Nya, “Apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (Luk. 12:20). Sedangkan pernyataan-Nya, “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Tuhan” (Luk. 12:21). Sebagai warga Kerajaan Allah kita tidak semata mengumpulkan kekayaan yang bersifat fana (materi), tetapi wajib mengumpulkan kekayaan yang bersifat abadi (rohani). Pada hakekatnya, kekayaan rohani itulah yang akan menjadi harta dan kekayaan kita dalam kerajaan Allah nantinya. Sudahkan kita memilikinya? (RRS)