Minggu, 02 September 2012

Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE - Hukum Taurat vs Kasih Karunia


Hukum Taurat vs Kasih Karunia

Horas pak Pdt. Rudy Sirait... Saya Lexy Hutagaol seorang penikmat rubrik “Bengkel” yang pak asuh di Majalah Narwastu Pembaharuan. Ada satu hal yang saya mau tanyakan, sehingga memberanikan diri untuk menulis email kepada bapak. Apakah hubungan Hukum Taurat dengan Kasih Karunia dalam aspek keselamatan (soteriologi). Untuk apa sebenarnya hukum Taurat itu diberikan oleh Allah kepada umat manusia? Dengan penuh harap saya menunggu jawabannya. Terima kasih sebelumnya. Tuhan memberkati (Lexy Hutagaol – Medan, Sumut).

            Horas jala gabe. Saya hargai rasa ingin tahu yang ada pada anda. Semoga catatan saya ini dapat menolong anda untuk memahaminya sehingga kian meluap rasa kagum atas karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Allah atas manusia berdosa makhluk ciptaan-Nya.
Kasih adalah salah satu sifat dasar Allah, tetapi apabila kasih itu dihubungkan dengan orang-orang berdosa maka menjadi kasih karunia. Kata ”kasih karunia” diterjemahkan dari kata Yunani ”Charis” yang dapat diartikan sebagai: kasih karunia, anugerah, pemberian, rahmat atau belas kasihan. Dalam konteks soteriologis maka kasih karunia berarti keselamatan yang sama sekali terpisah dari jasa-jasa kita atau oleh karena perbuatan baik kita. Keselamatan bukan terjadi sebagai “hasil pekerjaan” kita karena pekerjaan penyelamatan telah diselesaikan di atas kayu salib. Ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh Allah bagi kita dan Yesus telah melakukannya dengan kasih karunia-Nya.
Coba sejenak pertanyaan di bawah ini kita cermati. Dengan apakah seseorang bisa mendapatkan sesuatu? Saya melihat ada tiga cara yang dapat ditempuh. Pertama, dengan cara halal atau tidak berdosa. Misal, saya berkeinginan untuk memiliki sebuah televisi maka saya bekerja di sebuah perusahaan dan honor yang saya peroleh saya gunakan untuk membeli sebuah televisi. Ini namanya memperoleh sesuatu dengan cara halal. Cara yang kedua, dengan cara haram atau dengan cara berdosa. Seperti halnya pencuri yang menyusup ke dalam rumah untuk mengambil sebuah televisi. Inilah yang dinamakan memperoleh sesuatu dengan cara tidak halal. Cara yang ketiga adalah dengan cara diberi secara cuma-cuma atau kasih karunia. Saya mendatangi anda lalu memberikan secara cuma-cuma sebuah televisi sehingga anda memiliki sebuah televisi. Karena berupa pemberian, maka anda tidak perlu untuk membayarnya, tetapi anda bisa saja menolak atau tidak sudi untuk menerimanya.
Bila kita hubungkan dengan keselamatan kekal, cara manakah yang paling tepat untuk memperoleh hidup kekal? Mungkinkah dan dapatkah manusia manusia berdosa meraih hidup kekal dengan cara halal? Saya jamin tidak, karena manusia punya kecendrungan untuk berdosa, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dosa yang menyebabkan manusia tersesat (Mat. 18:11 ; Luk. 15:4,8,24). Jika tidak mendapat pengampunan, maka dosa menyebabkan manusia menjadi binasa (Rm. 3:23; 6:23; Yoh. 3:16; 1 Yoh. 1:9).
Bila kita mengacu kepada cara yang kedua yaitu dengan cara haram maka sudah pasti manusia tidak akan mungkin dan tidak akan dapat beroleh hidup yang kekal. Sesuatu yang haram dan berdosa tidak akan pernah membuat manusia beroleh hidup yang kekal. Karena itu, cara yang paling tepat dan logis untuk beroleh hidup yang kekal hanyalah dengan cara diberi secara cuma-cuma oleh karena kasih karunia Allah.
Kata Yunani yang seharusnya diterjemahkan “dengan cuma-cuma” dalam Yohanes 15:25 oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diterjemahkan menjadi “tanpa alasan”. Terjemahan ini sangatlah tepat karena kita dibenarkan tanpa alasan! Tidak ada satupun dalam diri manusia yang membuat ia pantas atau layak menerima keselamatan dari Allah. Semua ini karena kasih karunia, diberi secara cuma-cuma.
Keselamatan kekal adalah pemberian bukan pahala. Oleh karena itu janganlah kita sampai menyia-nyiakannya (band. Ibr. 2:3). Secara eksplisit Alkitab memberi penegasan bahwa yang terpenting bukanlah sekedar memiliki keselamatan, melainkan juga mengerjakan keselamatan dengan sikap takut dan gentar (Flp. 2:12).  Dan Allah mengendaki agar orang yang telah diselamatkan itu hidup di dalamnya (band Ef. 2:10; Gal. 5:13).
            Mari kita maknai lebih dalam lagi. Mengapa kasih karunia Allah bersifat penting? Apa yang menjadi dasar sehingga kasih karunia itu dinyatakan kepada manusia berdosa? Ada tiga hal secara mendasar bila saya melihatnya. Pertama, karena kasih karunia Allah maka manusia dapat terbebas dari belenggu dosa dan diperdamaikan dengan Allah. Standar Allah bukanlah standar moral seperti yang ditekankan oleh Hukum Taurat melainkan standar kasih.
Hukum Taurat diberikan bukan untuk menyelamatkan manusia, melainkan untuk menunjukkan kepada manusia bahwa ia perlu diselamatkan (Rm. 4:14-15). Manusia berdosa diselamatkan bukan karena ia terlepas dari kesalahan hukum Taurat karena tidak seorangpun yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat (Gal. 5:4). HukumTaurat tidak menyelamatkan manusia, tetapi hanya membuat manusia mengenal dosa (band. Rm. 3:20). Pengenalan terhadap hakekat dosa akan menyadarkan manusia betapa dahsyatnya akibat dari dosa tersebut.
Hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Yesus Kristus datang seperti yang telah dijanjikan-Nya itu supaya kita dibenarkan oleh iman (Gal. 3:19-24). Jadi pembenaran orang berdosa bukan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena kasih karunia (Ef. 2:8-9) oleh karena ia beriman kepada Yesus Kristus sebagai juru selamatnya secara pribadi (Rm. 1:17-18; Gal. 3:11). Intinya, hukum Taurat itu menunjukkan bahwa manusia butuh Juru selamat. Dan Yesus Kristus adalah kegenapan dari Hukum Taurat itu (Rm. 10:4; 8:1-4; 2 Kor. 5:21).
Dosa tidak akan pernah dapat diselesaikan oleh manusia secara pribadi. Malah bila dibiarkan maka manusia makin berdosa dan bertambah jahat. Setelah manusia jatuh dalam dosa, Allah sendiri yang berinisiatif untuk menebus manusia dari keberdosaanya (lihat Kej 3:15 band. Yes 7:14; 9:5; 52:13-53:12; Mi. 5:1; Mat. 1;23; Yoh. 3:16; Rm. 6:23). Karena Allah mengetahui secara pasti bahwa manusia tidak dapat menyelesaikan persoalan dosa, maka Ia menyatakan kasih karunia-Nya. Tanpa kasih karunia maka status saya dan saudara tetap sebagai tawanan atau budak dosa dan akan menjadi korban penghukuman akibat dari perbuatan dosa.
            Kedua, Karena kasih karunia maka Allah tidak menghendaki siapapun untuk binasa. Yang dikehendaki oleh Allah adalah supaya semua orang diselamatkan (lihat 1 Tim. 2:4) dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16; 2 Ptr. 3:15). Kematian Kristus di kayu salib adalah tindakan Allah untuk merealisasikan keselamatan bagi manusia berdosa. Tetapi realisasi ini butuh pengakuan dan respon dari manusia berdosa dalam menanggapi keselamatan yang ditawarkan kepadanya. Manusia berdosa hanya dituntut untuk mengakui dengan mulutnya dan percaya dengan segenap hati kepada Yesus Kristus maka ia diselamatkan (band. Rm. 10:9-10). Bila disimpulkan maka kematian Kristus di kayu salib ditawarkan untuk semua manusia, tetapi berlaku hanya bagi mereka yang percaya kepada-Nya (band. Yoh. 3:16; 14:6; Kis. 4:12). Bukan universalisme, melainkan universalitas.
Perbuatan baik atau kesalehan hidup tidak akan pernah dapat membuat manusia berdosa beroleh keselamatan kekal. Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik karena perbuatan baik yang kita perbuat tidak akan pernah mampu untuk membayar atau menebus dosa yang telah kita perbuat. Perbuatan baik adalah buah dari keselamatan, bukan sarana keselamatan (baca Ef. 2:8-10). Karena itu orang yang sudah diselamatkan layak untuk berbuahkan kebaikan dan memang sepatutnya adalah demikian.
Mungkin anda berkata kalau karena kasih karunia kita diselamatkan, apa pentingnya lagi kita berbuat baik? Lalu, untuk apa kita mencari pahala atau mengejar mahkota? Alkitab menegaskan bahwa di surga nanti kita akan berhadapan dengan Yesus yang duduk di takhta-Nya. Di hadapan takhta-Nya itulah kita akan melemparkan pahala atau mahkota yang kita peroleh saat hidup di dunia ini. Kita melakukannya sebagai suatu pujian dan pengaguman kepada Yesus Kristus yang telah menyelamatkan kita (lihat Why. 4:10). Kalau kita tidak memiliki mahkota, apa yang akan kita lemparkan nanti di surga saat menghadap takhta-Nya?
Ketiga, Allah ingin menyatakan kasih-Nya yang besar kepada manusia berdosa (Yoh. 3:16). Karena kasih maka Allah mengampuni orang-orang berdosa, tetapi keadilan Allah menuntut konsistensi Allah untuk menyatakan keadilan-Nya. Allah tidak dapat melanggar ketetapan-Nya sendiri atau mengingkari sifat-Nya sama sekali. Secara adil maka Allah akan menghukum manusia karena dosa yang telah diperbuatnya (lihat Kej. 3:16-19). Dan maut adalah upah atas dosa yang telah diperbuat oleh manusia (Rm. 6:23).
Tetapi jangan pernah diabaikan bahwa Allah yang maha adil itu (Mzm. 7:12; Yes. 30:8; Yoh. 17:25; I Yoh. 2:1), juga adalah Allah yang maha kasih (Yoh. 3:16; 1 Yoh. 4:8). Kasih dan keadilan Allah berjalan bersamaan, tanpa mengurangi dan kontradiksi satu sama lain. Seperti keadilan yang telah dinyatakan-Nya, maka secara otomatis kasih Allah juga harus dinyatakan atas manusia berdosa. Untuk mewujudkan kasih-Nya maka Allah sendiri yang melakukan prakarsa untuk menyelamatkan manusia berdosa. Tidaklah mungkin Allah membiarkan manusia sementara Dia sendiri mengetahui secara pasti bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menyelamatkan dirinya dari belenggu dosa. Adalah suatu kesombongan bila manusia beranggapan dapat menyelesaikan persoalan dosa pribadi dengan kesalehan atau melalui perbuatan baiknya. 
Alkitab tegas mengatakan bahwa kematian Kristus di kayu salib membenarkan manusia berdosa, ”Oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus (Rm. 3:24 band. Rm. 6:23; Ef. 2:8-9). Kasih Allah itulah yang menutupi segala dosa (band. 1 Kor. 13:7). Kasih Allah adalah dasar dari pembenaran terhadap orang berdosa. Nah, bagaimana Allah yang kudus itu dapat membenarkan orang-orang berdosa? Lalu apa langkah yang ditempuh oleh Allah terkait dengan kedua sifat-Nya itu, yakni: kasih terhadap orang berdosa dan keadilan ditegakkan bagi orang berdosa? Bagaimana Allah dapat bersifat adil, tetapi juga menyelamatkan orang berdosa sebagai wujud dari kasih-Nya? Jawabannya ada dalam diri Yesus Kristus. Salib adalah bukti bahwa Yesus menanggung murka Allah di Golgota untuk menebus manusia berdosa sekaligus menyatakan kasih-Nya. Dan Yesus telah memenuhi fakta-fakta hukum Allah secara sempurna dan juga sempurna dalam mengungkapkan kasih Allah bagi umat manusia ciptaan-Nya.
            Dua kisah di bawah ini cukup representatif untuk menolong kita dalam memahami perihal kasih karunia Allah. Dr. G. Campbell Morgan sedang berusaha menjelaskan “Keselamatan yang cuma-cuma” kepada seorang penggali tambang batu bara, tetapi penggali tambang itu tetap saja tidak dapat memahaminya. Sambil tetap ngotot mempertahankan pendapatnya ia tetap mendebat Dr. Morgan dengan berkata, “Saya harus membayar untuk memperolehnya.
            Berkat hikmat dari Allah lalu Dr. Morgan melontar pertanyaan, “Bagaimana anda dapat menuruni tambang tadi pagi?” “Mudah sekali,” jawab orang itu. “Saya hanya masuk ke dalam lift, lalu turun.” Kemudian Dr. Morgan berkata, “Sangat mudah, bukan? Anda tidak harus membayar sesuatu untuk itu.” Penambang itu tertawa. “Tidak, saya tidak usah membayar apa-apa, tetapi perusahaan tentunya mengeluarkan banyak biaya untuk mengadakan lift di penambangan ini.” Akhirnya penggali tambang itu dapat melihat kebenaran Allah sambil berkata: “Saya tidak membayar sesuatu apa pun untuk diselamatkan, tetapi Allah membayarnya dengan hidup Anak-Nya.
            Pada abad ke-20, Kaisar Tsar Rusia pernah digoncang kepemimpinannya oleh kelompok revolusioner yang dipimpin oleh seorang pejuang bernama Shamila. Shamila dan kelompoknya hidup mengembara dan berpindah pindah untuk maksud menggulingkan Tsar Rusia.
            Dalam suatu peristiwa seorang bawahan Shamila datang ke tendanya untuk melaporkan bahwa persedian makanan mereka telah dicuri. Shamila kesal bukan kepalang karena persediaan makanan sangat terbatas. Segera ia mengumpulkan semua anggotanya dan menetapkan sebuah keputusan yang bersifat yuridis bila tertangkap basah mencuri makanan maka sang pencuri akan menerima hukuman cambuk dan semua anggota harus menyaksikan agar mereka tidak ikut-ikutan mencuri. Tidak lama setelah Shamila mengeluarkan ketetapan, pengawalnya datang menghadap kembali untuk memberitahukan bahwa makanan kembali dicuri, tetapi pencurinya sudah tertangkap.
Tragisnya yang tertangkap sebagai pencuri itu adalah ibu kandung Shamila sendiri. Selanjutnya, apa yang terjadi? Apakah Shamila akan membebaskan ibunya karena memang ia sangat mengasihi ibunya itu? Atau sebaliknya membiarkan ibunya dicambuki di depan mata kepalanya sendiri. Tentulah Shamila mengalami dilema dan konflik batin. Menurut Anda apa yang akan dilakukannya? Bila Shamila membebaskan ibunya sebagai bukti kasih kepada orang yang sangat dikasihinya itu maka pengikutnya akan menganggap ia sebagai pemimpin yang tidak adil. Atau sebaliknya, bila ia mencambuki ibunya maka orang-orang akan mengatakan bahwa ia tidak mengasihi ibunya. Seluruh pengikutnya menantikan bagaimana tindakan Shamila dalam mengatasi problema yang terjadi. Di depan banyak orang Shamila melepaskan jubahnya dan memerintahkan agar pengawal mencambuki dirinya. Tindakan seperti ini dilakukan oleh Shamila karena didasari oleh kasihnya kepada ibunya, tetapi juga sekaligus menyatakan keadilan yang harus ditegakkan.
            Hal seperti itulah yang dilakukan oleh Allah kepada manusia berdosa ciptaan-Nya. Allah sendiri yang turun tangan untuk mengatasi problema dosa. Yesus rela memberi diri-Nya untuk menderita di kayu salib agar keadilan Allah atas dosa dapat ditegakkan dan kasih Allah atas manusia berdosa juga sekaligus dinyatakan sehingga umat yang dikasihi-Nya beroleh hidup yang kekal. Allah itu kasih (1 Yoh. 4:8, 16). Ia penuh anugerah dan mengetahui secara pasti bahwa manusia membutuhkan kasih karunia karena tak satupun manusia mampu melepaskan diri dari jerat dan hukuman dosa. Pertanyaannya, maukah kita menerima kasih karunia itu dan hidup di dalamnya? (RRS)