Jadilah Kaya Tetapi Tidak Menjadi Bodoh
(Lukas 12:13-21)
So,
untuk menjadi orang kaya yang tidak bodoh di mata Allah maka ada tiga
pertanyaan yang perlu untuk direnungkan dan harus dijawab secara benar. Tiga
pertanyaan ini walaupun tidak tersurat di dalam Alkitab tetapi jelas tersirat
dan perlu dipahami
secara seksama.
Apakah tiga pertanyaan yang memotivasi kita untuk menjadi kaya tetapi tidak
menjadi bodoh?
1. Personal Atau Profesional?
Seorang percaya tidak harus
sukses secara profesi tetapi gagal secara personal. Kita harus
meraih sukses secara profesi dan secara personal, tetapi yang utama dan
terutama haruslah sukses secara personal terlebih dahulu. Hal itulah yang
ditegaskan oleh Tuhan Yesus Kristus perihal bahaya dari materi atau moneter yang berpotensi untuk membuat
manusia menjadi tamak. Mengingat bahaya yang akan dapat terjadi, maka Yesus berkata:
”Berjaga-jagalah dan waspadalah…” (lihat ayat 15 band. Mat. 6 :33). Gagasan yang ditekankan adalah
kewaspadaan untuk tidak memprioritaskan kekayaan yang bersifat materi itu di
atas segala-galanya.
Banyak orang menjadi sukses
secara profesional, tetapi
gagal secara personal. Tidak semua
orang percaya mampu untuk sukses secara profesi, tetapi semua orang percaya
mampu untuk sukses secara personal. Uang dan materi bukan
segala-galanya! Bukankah ada orang yang berkekurangan secara materi, tetapi
mampu mensyukuri apa yang diterimanya? Tetapi sebaliknya, ada yang
berkelimpahan secara materi, tetapi tidak merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya. Bukankah
ini gagal secara personal?
Seorang penghibur bernama Guy
de Maupassant berkata, “I have
coveted every thing, taking pleasure in nothing” (terjemahan bebas: “Aku memiliki segalanya
tetapi tidak dapat menikmati
satu pun”). Elvis Presley mati karena over dosis Heroin. Sebelum meninggal dunia, ia sempat
diwawancarai oleh wartawan. Penampilannya terlihat gemerlap, tetapi ekspresi wajahnya tanpa
antusias. Dengan
lirih, Elvis berkata: “I’d rather be unconscious
than miserable” (terjemahan
bebas: “Lebih baik hidup tidak sadarkan diri dari pada sadar dan merasa celaka”). Inilah kehidupan yang tragis dan
memprihatinkan!
Mungkin kita bisa meraih kekayaan berlimpah-limpah,
tetapi Tuhan Yesus lebih mengingankan karakter kita daripada kekayaan kita.
Mata-Nya lebih tertuju kepada hati kita daripada kemapanan dan kenyaman yang
kita miliki. Secara tegas Dia mengatakan bahwa “hidup manusia bukan tergantung
daripada kekayaan itu” (lihat Luk. 12:15).
2. Makna Atau Tujuan?
Orang kaya yang dijadikan perumpamaan oleh Tuhan
Yesus dalam nats ini adalah seorang yang tahu secara pasti bagaimana mencapai
gol atau target yang harus diraih dalam menggapai kesuksesan. Ia memiliki
kapasitas untuk mendapatkan kekayaan,
menyimpan kekayaan dan memperbesar jumlah kekayaannya (lihat
ayat 16-19). Tetapi betulkah kesuksesan seperti itu yang membuat hidupnya
bermakna?
Apalah
artinya meraih tujuan hidup tetapi tidak mendapatkan makna hidup!
Oleh karena itu, sikap kita harus dibingkai dengan suatu kesadaran secara
pribadi, ”Apakah yang diinginkan Allah dari diriku?” bukan sekedar, ”Apakah
yang akan kudapatkan bagiku?” Ibarat pelari, apakah anda berlari
sekedar tetap berlari atau demi tujuan yang lebih tinggi dalam berlari. Ilmuan Albert Einstein pernah
berkata, “Jangalah menjadi orang sukses, tetapi jadilah orang bernilai.”
Pencapaian makna hidup selalu berorientasi
kepada proses bukan semata kepada tujuan yang hendak dicapai. Makna hidup bukan semata
pencapaian aspek materi
(to have) atau aspek
pengetahuan (to know), tetapi
aspek gaya hidup (to be atau being). Karena itulah manusia disebut sebagai human being,
bukan human doing. Anda akan kecewa, depresi
bahkan bisa melakukan
hal yang lebih fatal, yaitu bunuh diri
akibat gagal mencapai tujuan. Atau anda akan menghalalkan segala macam cara serta tidak berprikemanusiaan,
bila semata hanya demi pencapaian tujuan yang anda hanya inginkan.
3. Kerajaan Allah Atau Kerajaan Bisnis?
Kita adalah warga kerajaan Allah. Alkitab katakan
bahwa Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran,
damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (lihat Rm. 14:17). Kesadaran diri sebagai warga kerajaan Allah memotivasi kita untuk hidup
dalam kebenaran, hidup dalam damai sejahtera dan hidup senantiasa bersukacita.
Kehidupan seperti itu bukan semata diharapkan, tetapi diupayakan; bukan semata
menjadi cita-cita, tetapi diciptakan. Dalam pelaksanaannya tentulah bukan
semata didasari oleh tekad dan kemauan pribadi, tetapi bersinergi dengan Roh
Kudus yang akan memampukan kita untuk hidup dalam kebenaran; hidup dalam damai
sejahtera; hidup bersuka cita; hidup sebagai warga kerajaan Allah.
Orang kaya dalam nats
ini asyik membangun kerajaan bisnis, sehingga melalaikan kerajaan Allah.
Tegaknya kerajaan Allah di muka bumi ini adalah tanggung jawab setiap orang
percaya. Memang, tidak semua orang percaya dapat terlibat dalam perluasan
kerajaan binis, tetapi semua orang percaya harus terlibat dalam perluasan kerajaan
Allah di muka bumi ini.
Kerajaan bisnis bersifat fana tetapi kerajaan Allah kekal untuk
selama-lamanya. Kita hidup di dunia yang fana ini hanya puluhan tahun
saja, tetapi milyaran tahun kita akan hidup di dunia kekekalan. Selagi kita
masih bernafas, mari jadikan ini suatu kesempatan atau peluang yang harus kita
ambil dan upayakan. Kita tidak tahu kapan saatnya, tetapi ada saatnya nafas ini
tidak dapat berhembus lagi. Bila nafas kita nanti berhenti, kekayaan bisnis dan materi yang kita miliki akan tertinggal di bumi ini. Nah, kalau begitu, kekayaan
apa yang akan kita bawa nantinya?
Bagian akhir dari
perumpamaan ini adalah berupa pertanyaan dan pernyataan dari
Allah berkenaan dengan kekayaan yang harus kita mengerti dan kita miliki.
Pertanyaan-Nya, “Apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (Luk.
12:20). Sedangkan pernyataan-Nya, “Demikianlah jadinya dengan orang yang
mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan
Tuhan” (Luk. 12:21). Sebagai warga Kerajaan Allah kita tidak semata mengumpulkan kekayaan yang
bersifat fana (materi), tetapi wajib mengumpulkan kekayaan yang bersifat abadi (rohani). Pada hakekatnya, kekayaan rohani itulah yang akan menjadi harta dan kekayaan kita dalam
kerajaan Allah nantinya. Sudahkan kita memilikinya? (RRS)