Hukum Taurat vs Kasih Karunia
Horas pak Pdt. Rudy Sirait...
Saya Lexy Hutagaol seorang penikmat rubrik “Bengkel” yang pak asuh di Majalah
Narwastu Pembaharuan. Ada satu hal yang saya mau tanyakan, sehingga
memberanikan diri untuk menulis email kepada bapak. Apakah hubungan Hukum Taurat
dengan Kasih Karunia dalam aspek keselamatan (soteriologi). Untuk apa
sebenarnya hukum Taurat itu diberikan oleh Allah kepada umat manusia? Dengan
penuh harap saya menunggu jawabannya. Terima kasih sebelumnya. Tuhan memberkati
(Lexy Hutagaol – Medan, Sumut).
Horas jala gabe. Saya
hargai rasa ingin tahu yang ada pada anda. Semoga catatan saya ini dapat
menolong anda untuk memahaminya sehingga kian meluap rasa kagum atas karya
keselamatan yang telah dilakukan oleh Allah atas manusia berdosa makhluk
ciptaan-Nya.
Kasih adalah
salah satu sifat dasar Allah, tetapi apabila kasih itu dihubungkan dengan
orang-orang berdosa maka menjadi kasih karunia. Kata ”kasih karunia” diterjemahkan
dari kata Yunani ”Charis” yang dapat diartikan sebagai: kasih karunia,
anugerah, pemberian, rahmat atau belas kasihan. Dalam konteks soteriologis maka
kasih karunia berarti keselamatan yang sama sekali terpisah dari
jasa-jasa kita atau oleh karena perbuatan baik kita.
Keselamatan bukan terjadi sebagai “hasil pekerjaan” kita
karena pekerjaan penyelamatan telah diselesaikan di atas kayu salib. Ini adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh Allah bagi kita dan Yesus telah melakukannya dengan kasih
karunia-Nya.
Coba sejenak
pertanyaan di bawah ini kita cermati. Dengan apakah seseorang bisa
mendapatkan sesuatu? Saya melihat ada tiga cara yang dapat ditempuh. Pertama, dengan cara halal atau tidak berdosa. Misal, saya berkeinginan
untuk memiliki sebuah televisi maka saya bekerja di sebuah perusahaan dan honor yang saya peroleh saya
gunakan untuk
membeli sebuah televisi. Ini namanya
memperoleh sesuatu dengan cara halal. Cara yang kedua, dengan
cara haram atau dengan cara berdosa. Seperti halnya
pencuri yang menyusup ke dalam rumah untuk mengambil sebuah televisi. Inilah yang
dinamakan memperoleh sesuatu dengan cara tidak halal. Cara
yang ketiga adalah dengan cara
diberi secara cuma-cuma atau kasih karunia. Saya mendatangi anda
lalu memberikan secara cuma-cuma sebuah televisi sehingga
anda memiliki sebuah televisi. Karena berupa pemberian, maka anda tidak perlu
untuk membayarnya, tetapi anda bisa saja menolak atau tidak sudi untuk
menerimanya.
Bila kita hubungkan dengan keselamatan
kekal, cara manakah yang paling tepat
untuk memperoleh hidup kekal? Mungkinkah dan dapatkah manusia
manusia berdosa meraih hidup kekal dengan cara halal? Saya jamin tidak,
karena manusia punya kecendrungan untuk berdosa, baik secara sengaja maupun
tidak sengaja. Dosa yang menyebabkan manusia tersesat (Mat. 18:11 ;
Luk. 15:4,8,24). Jika tidak mendapat pengampunan, maka dosa menyebabkan
manusia menjadi binasa (Rm. 3:23; 6:23; Yoh. 3:16; 1 Yoh. 1:9).
Bila kita mengacu kepada cara yang kedua yaitu dengan
cara haram maka sudah pasti manusia tidak akan mungkin dan tidak akan dapat
beroleh hidup yang kekal. Sesuatu yang haram dan berdosa tidak akan pernah membuat
manusia beroleh hidup yang kekal. Karena itu, cara yang paling
tepat dan logis untuk beroleh hidup yang kekal hanyalah dengan
cara diberi secara cuma-cuma oleh karena kasih karunia Allah.
Kata Yunani
yang seharusnya diterjemahkan “dengan cuma-cuma” dalam Yohanes
15:25 oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diterjemahkan menjadi “tanpa
alasan”. Terjemahan ini sangatlah tepat karena kita
dibenarkan tanpa alasan! Tidak ada satupun dalam diri manusia yang
membuat ia pantas atau layak menerima keselamatan dari Allah.
Semua ini karena kasih karunia, diberi secara cuma-cuma.
Keselamatan kekal adalah pemberian bukan pahala. Oleh
karena itu janganlah
kita sampai
menyia-nyiakannya (band. Ibr. 2:3). Secara eksplisit Alkitab memberi penegasan
bahwa yang terpenting bukanlah sekedar memiliki
keselamatan, melainkan juga
mengerjakan keselamatan dengan sikap takut dan gentar (Flp. 2:12). Dan Allah mengendaki agar orang yang telah diselamatkan itu hidup di
dalamnya (band Ef. 2:10; Gal. 5:13).
Mari kita maknai
lebih dalam lagi. Mengapa kasih karunia Allah bersifat penting? Apa yang menjadi
dasar sehingga kasih karunia itu dinyatakan kepada manusia berdosa? Ada tiga
hal secara mendasar bila saya melihatnya. Pertama, karena kasih karunia
Allah maka manusia
dapat terbebas dari belenggu dosa dan diperdamaikan dengan Allah.
Standar Allah bukanlah standar moral seperti yang ditekankan
oleh Hukum Taurat melainkan standar kasih.
Hukum Taurat diberikan bukan untuk menyelamatkan manusia, melainkan untuk menunjukkan kepada manusia bahwa
ia perlu diselamatkan (Rm. 4:14-15). Manusia berdosa diselamatkan bukan karena
ia terlepas dari kesalahan hukum Taurat karena tidak seorangpun yang dibenarkan
di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat (Gal. 5:4). HukumTaurat tidak
menyelamatkan manusia, tetapi
hanya membuat manusia mengenal dosa (band. Rm. 3:20). Pengenalan terhadap
hakekat dosa akan menyadarkan manusia betapa dahsyatnya akibat dari dosa
tersebut.
Hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Yesus Kristus
datang seperti yang telah dijanjikan-Nya itu supaya kita
dibenarkan oleh iman (Gal. 3:19-24).
Jadi pembenaran orang berdosa bukan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena kasih
karunia (Ef. 2:8-9) oleh karena ia beriman kepada Yesus Kristus sebagai juru
selamatnya secara
pribadi (Rm. 1:17-18; Gal. 3:11). Intinya, hukum Taurat itu menunjukkan bahwa manusia
butuh Juru selamat. Dan Yesus Kristus adalah kegenapan dari Hukum Taurat itu (Rm. 10:4; 8:1-4; 2 Kor. 5:21).
Dosa tidak akan pernah dapat
diselesaikan oleh manusia secara pribadi. Malah bila dibiarkan maka manusia
makin berdosa dan bertambah jahat. Setelah manusia jatuh dalam dosa, Allah
sendiri
yang berinisiatif
untuk menebus manusia dari keberdosaanya (lihat Kej
3:15 band. Yes
7:14; 9:5; 52:13-53:12; Mi. 5:1; Mat. 1;23; Yoh. 3:16; Rm. 6:23). Karena Allah
mengetahui secara pasti bahwa manusia tidak dapat menyelesaikan persoalan
dosa, maka Ia menyatakan kasih karunia-Nya. Tanpa kasih karunia maka
status saya dan saudara tetap sebagai tawanan atau budak dosa dan
akan menjadi korban penghukuman akibat dari perbuatan dosa.
Kedua, Karena kasih
karunia maka Allah tidak menghendaki siapapun untuk binasa. Yang
dikehendaki oleh Allah adalah supaya semua orang diselamatkan
(lihat 1 Tim. 2:4) dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk beroleh hidup yang kekal
(Yoh.
3:16; 2 Ptr. 3:15). Kematian Kristus di kayu
salib adalah tindakan Allah untuk merealisasikan keselamatan bagi manusia
berdosa. Tetapi realisasi ini butuh pengakuan dan respon dari manusia berdosa
dalam menanggapi keselamatan yang ditawarkan kepadanya. Manusia berdosa
hanya dituntut
untuk mengakui dengan mulutnya dan percaya dengan segenap hati kepada Yesus
Kristus maka ia diselamatkan (band. Rm. 10:9-10). Bila disimpulkan maka kematian
Kristus di kayu salib ditawarkan untuk semua manusia, tetapi berlaku hanya bagi
mereka yang percaya kepada-Nya (band. Yoh. 3:16; 14:6; Kis. 4:12). Bukan universalisme,
melainkan universalitas.
Perbuatan baik atau kesalehan hidup
tidak akan pernah dapat membuat manusia berdosa beroleh keselamatan kekal. Kita
diselamatkan bukan karena perbuatan baik karena perbuatan baik yang kita
perbuat tidak akan pernah mampu untuk membayar atau menebus dosa yang telah kita
perbuat.
Perbuatan baik adalah buah dari keselamatan, bukan sarana keselamatan (baca Ef. 2:8-10). Karena itu orang
yang sudah diselamatkan layak untuk berbuahkan kebaikan dan memang sepatutnya adalah
demikian.
Mungkin anda berkata kalau karena kasih karunia kita
diselamatkan, apa pentingnya lagi kita berbuat baik? Lalu, untuk apa kita mencari pahala atau
mengejar mahkota? Alkitab menegaskan bahwa di surga nanti kita akan berhadapan
dengan Yesus yang duduk di takhta-Nya. Di hadapan takhta-Nya itulah kita akan
melemparkan pahala atau mahkota yang kita peroleh saat hidup di dunia ini. Kita
melakukannya sebagai suatu pujian dan pengaguman kepada Yesus Kristus yang
telah menyelamatkan kita (lihat Why. 4:10). Kalau kita tidak memiliki mahkota,
apa yang akan kita lemparkan nanti di surga saat menghadap takhta-Nya?
Ketiga, Allah ingin menyatakan kasih-Nya yang besar kepada manusia berdosa (Yoh. 3:16). Karena kasih maka Allah mengampuni
orang-orang berdosa,
tetapi keadilan Allah menuntut konsistensi Allah untuk menyatakan keadilan-Nya.
Allah tidak dapat melanggar ketetapan-Nya sendiri atau mengingkari sifat-Nya sama sekali. Secara adil maka Allah akan menghukum manusia karena
dosa yang telah diperbuatnya
(lihat
Kej. 3:16-19).
Dan maut adalah upah atas dosa yang telah diperbuat oleh manusia (Rm. 6:23).
Tetapi jangan pernah diabaikan bahwa
Allah yang maha adil itu (Mzm. 7:12; Yes. 30:8; Yoh.
17:25; I Yoh. 2:1), juga adalah Allah yang maha kasih (Yoh. 3:16; 1 Yoh. 4:8). Kasih dan keadilan Allah
berjalan bersamaan, tanpa mengurangi dan kontradiksi satu sama lain. Seperti
keadilan yang telah dinyatakan-Nya, maka secara otomatis kasih Allah
juga harus dinyatakan atas manusia berdosa. Untuk mewujudkan
kasih-Nya maka Allah sendiri yang melakukan prakarsa untuk menyelamatkan
manusia berdosa. Tidaklah mungkin Allah membiarkan manusia sementara Dia
sendiri mengetahui secara pasti bahwa manusia tidak
akan
pernah mampu untuk menyelamatkan dirinya dari belenggu dosa. Adalah suatu
kesombongan bila manusia beranggapan dapat menyelesaikan persoalan dosa pribadi dengan
kesalehan atau melalui perbuatan baiknya.
Alkitab tegas mengatakan bahwa kematian Kristus di kayu
salib membenarkan manusia berdosa, ”Oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma
karena penebusan dalam Kristus Yesus”
(Rm.
3:24 band. Rm. 6:23; Ef.
2:8-9). Kasih Allah itulah yang menutupi segala dosa (band.
1 Kor. 13:7). Kasih
Allah adalah dasar dari pembenaran terhadap orang berdosa. Nah, bagaimana Allah yang kudus
itu dapat membenarkan orang-orang berdosa? Lalu apa langkah yang ditempuh oleh Allah
terkait dengan kedua sifat-Nya itu, yakni: kasih terhadap orang berdosa dan keadilan ditegakkan bagi
orang berdosa? Bagaimana Allah dapat bersifat adil, tetapi juga menyelamatkan
orang berdosa sebagai wujud dari kasih-Nya? Jawabannya ada dalam diri Yesus Kristus. Salib adalah
bukti bahwa Yesus menanggung murka Allah di Golgota untuk menebus manusia
berdosa sekaligus menyatakan kasih-Nya. Dan Yesus telah memenuhi fakta-fakta hukum
Allah secara sempurna dan juga sempurna dalam mengungkapkan
kasih Allah bagi umat manusia ciptaan-Nya.
Dua kisah
di
bawah ini cukup representatif untuk menolong kita
dalam
memahami perihal kasih karunia Allah. Dr. G. Campbell Morgan sedang
berusaha menjelaskan “Keselamatan yang cuma-cuma” kepada seorang penggali
tambang batu bara, tetapi penggali tambang itu tetap saja tidak dapat
memahaminya. Sambil tetap ngotot mempertahankan pendapatnya ia tetap mendebat
Dr. Morgan dengan berkata, “Saya harus membayar untuk memperolehnya.”
Berkat
hikmat dari Allah lalu Dr. Morgan melontar pertanyaan, “Bagaimana
anda
dapat menuruni tambang tadi pagi?” “Mudah sekali,” jawab
orang itu. “Saya hanya masuk ke dalam lift, lalu turun.”
Kemudian Dr. Morgan berkata, “Sangat mudah, bukan? Anda tidak harus membayar sesuatu untuk
itu.” Penambang itu tertawa. “Tidak, saya
tidak usah membayar apa-apa, tetapi perusahaan tentunya mengeluarkan banyak
biaya untuk mengadakan lift di penambangan ini.” Akhirnya
penggali tambang itu dapat melihat kebenaran Allah sambil berkata: “Saya tidak
membayar sesuatu apa pun untuk diselamatkan, tetapi Allah membayarnya dengan
hidup Anak-Nya.”
Pada
abad ke-20, Kaisar Tsar Rusia pernah digoncang kepemimpinannya oleh kelompok
revolusioner yang dipimpin oleh seorang pejuang bernama Shamila.
Shamila dan kelompoknya hidup mengembara dan berpindah pindah untuk maksud
menggulingkan Tsar Rusia.
Dalam suatu peristiwa
seorang bawahan Shamila datang ke tendanya untuk melaporkan bahwa
persedian makanan mereka telah dicuri. Shamila kesal bukan kepalang karena
persediaan makanan sangat terbatas. Segera ia mengumpulkan semua anggotanya dan
menetapkan sebuah keputusan yang bersifat yuridis bila tertangkap basah mencuri makanan maka sang pencuri akan
menerima
hukuman cambuk dan semua anggota harus menyaksikan agar mereka tidak
ikut-ikutan mencuri. Tidak lama setelah Shamila mengeluarkan ketetapan,
pengawalnya datang menghadap kembali untuk memberitahukan bahwa
makanan kembali dicuri, tetapi pencurinya sudah tertangkap.
Tragisnya
yang tertangkap sebagai pencuri itu adalah ibu kandung Shamila sendiri.
Selanjutnya, apa yang terjadi? Apakah Shamila akan membebaskan ibunya karena memang ia
sangat mengasihi ibunya itu? Atau sebaliknya membiarkan ibunya dicambuki di depan
mata kepalanya sendiri. Tentulah Shamila mengalami dilema dan konflik batin.
Menurut Anda apa yang akan dilakukannya? Bila Shamila membebaskan ibunya
sebagai bukti kasih kepada orang yang sangat dikasihinya itu maka pengikutnya akan
menganggap ia sebagai pemimpin yang tidak adil. Atau sebaliknya, bila ia
mencambuki ibunya maka orang-orang akan mengatakan bahwa ia tidak mengasihi
ibunya. Seluruh pengikutnya menantikan bagaimana tindakan Shamila dalam mengatasi
problema yang terjadi. Di depan banyak orang Shamila melepaskan jubahnya dan
memerintahkan agar pengawal mencambuki dirinya. Tindakan seperti ini dilakukan
oleh Shamila karena didasari oleh kasihnya kepada ibunya, tetapi juga sekaligus menyatakan
keadilan yang harus ditegakkan.
Hal
seperti itulah yang dilakukan oleh Allah kepada manusia berdosa ciptaan-Nya. Allah sendiri
yang turun tangan untuk mengatasi problema dosa. Yesus rela memberi diri-Nya
untuk menderita di kayu salib agar keadilan
Allah atas dosa dapat ditegakkan dan kasih
Allah atas manusia berdosa juga sekaligus
dinyatakan sehingga
umat yang dikasihi-Nya beroleh hidup yang kekal. Allah
itu kasih (1 Yoh. 4:8, 16). Ia penuh anugerah dan mengetahui secara pasti bahwa
manusia membutuhkan kasih karunia karena tak
satupun manusia mampu melepaskan
diri dari jerat dan hukuman dosa. Pertanyaannya, maukah
kita menerima kasih karunia itu dan hidup di dalamnya? (RRS)