Bekerja
Rangkap, Bolehkah?
(Refleksi
Injil Matius 6:24)
Syalom
Pak Rudy Sirait... Ijinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya
Julius Antonio. Asal saya dari Kupang, tetapi sudah tujuh tahun saya menetap
dan bekerja di kota Jakarta. Untuk mencukupkan kebutuhan, maka saya bekerja
rangkap di dua perusahaan swasta yang berbeda. Pagi hingga siang hari saya
bekerja sebagai tenaga IT, lalu sore hari hingga pukul 22.00 WIB saya bekerja
sebagai tekhnisi.
Kemarin
saya merenungkan firman Tuhan dalam Matius 6:24, yang berbunyi seperti ini:
“Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang
seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Allah dan kepada Mamon.”
Jujur
saja, setelah membaca ayat ini saya agak sedikit bingung dan bertanya dalam
hati, apakah salah bila saya bekerja rangkap? Sepertinya, saya tidak pernah
membeda-bedakan etos kerja saya, baik pada perusahaan yang satu maupun yang
lainnya. Saya bekerja dengan semangat dan sepenuh hati. Apakah ada indikasi
bahwa perkataan Yesus dalam ayat ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi
dunia kerja saat ini? Mohon penjelasannya pak Rudy. Terima kasih banyak. Tuhan
memberkati pak Rudy sekeluarga (Julius Antonio - Jakarta).
Syalom juga pak Julius. Pertanyaan anda
sangat baik dan saya bangga karena di tengah kesibukan kerja yang padat, anda
masih punya waktu untuk merenungkan firman Tuhan. Saya menaruh respek karena
anda berusaha menyelidiki firman Tuhan untuk memastikan kebenarannya. Semoga
jawaban saya dapat menjawab apa yang anda pertanyakan.
Untuk memahami Injil Matius 6:24, perlu
dicermati secara seksama perihal dua kata yang terdapat di dalamnya. Pertama,
kata “abdi.” Hubungan yang dimaksudkan oleh Yesus di sini
adalah hubungan antara tuan dengan abdi, bukan antara atasan (direksi) dengan
bawahan (pegawai). Di era Yesus hidup, seorang abdi secara hukum tidak memiliki
hak. Dia milik tuannya semata dan tuannya dapat berbuat apa saja yang dimaui
terhadapnya. Abdi, budak atau hamba tidak berhak untuk menolak, apalagi sampai
menuntut tuannya. Dalam kenyataannya, tidak ada satu orang hamba milik dua
tuan. Frase “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan” menegaskan tentang
kenyataan kepemilikan tunggal seorang hamba.
Abdi juga tidak memiliki waktu, sepenuh waktunya
hanya untuk tuannya. Dia dituntut untuk bekerja rangkap, bahkan serabutan
tetapi hanya kepada satu tuan saja (band. Luk. 17:7-8). Kesiap-siagaan selama
24 jam serta keharusan melaksanakan pekerjaan adalah tuntutan mutlak
perhambaan. Setiap orang Kristen adalah abdi Allah, sementara Allah adalah
Tuan-nya. Kita harus mengabdi hanya kepada Allah. Di era masa kini yang
menentang perbudakan manusia, tidak jadi soal manusia memiliki dua majikan,
tetapi Tuan (Pemiliknya) tetap harus satu.
Kata yang kedua, adalah “Mamon.” Awal mulanya kata
“Mamon” memiliki makna yang positif, tetapi selanjutnya bergeser maknanya
menjadi negatif. Kata “Mamon” berasal dari kata Aram yang berarti “harta milik
bendawi.” Tidak ada yang salah dalam kepemilikan harta benda, karena harta
benda juga merupakan titipan Tuhan. Uang bersifat netral dan tidak berdosa,
tetapi cinta uang itu adalah akar segala kejahatan (lihat 1 Tim. 6:10). Orang
Kristen tidak boleh menjadi hamba uang (2 Tim. 3:2; Ibr. 13:5).
Demi keamanan terhadap kepemilikan harta
benda maka orang-orang pada saat itu mempercayakan mamon atau harta milik
bendawi mereka kepada seseorang atau suatu lembaga untuk dijaga. Seperti halnya
manusia saat ini yang menyimpan uang di Bank agar aman. Tetapi pengaruh Mamon
telah mempengaruhi masyarakat pada saat itu secara luar biasa, mereka bukan
lagi mempercayakan mamon mereka,
tetapi mempercayai. Mamon yang semata
bendawi itu berubah menjadi ilah; bukan lagi sebagai sarana, melainkan
sesembahan. Mamon searti dengan “kekayaan yang tidak halal.”
Akar kata “Mamon” adalah “mn” yang mana kata
“amin” atau “iman” juga berasal dari akar kata yang sama, yang artinya: “yang
pasti, yang dapat diandalkan, yang bertahan.” Tampaknya manusia memiliki
kecendrungan untuk mempercayai “Mamon” karena itulah maka Yesus memberi
peringatan keras agar manusia mengabdi hanya kepada Allah, bukan kepada Mamon.
Allah dan Mamon disejajarkan dalam hal ini, bahkan ditulis dengan huruf besar,
agar mendapat perhatian secara seksama.
Pekerjaan sekular adalah penting dan berharga
di mata Allah, selama pekerjaan itu tidak bertentangan dengan Alkitab yang
adalah firman Allah. Alkitab adalah dasar atau acuan dalam memaknai dunia
pekerjaan. Alkitab relevan dalam segala situasi dan kondisi, bagian kita hanya
mencari relevansinya. Secara tegas Alkitab memberi pandangan yang mulia
terhadap pekerjaan sekular (high view of work). Kontras dengan pandangan Yunani
kuno yang mengatakan bahwa manusia bekerja karena kutukan dewa, atau pandangan
duniawi yang sangat merendahkan harkat dari pekerjaan (low view of work). Umat
Kristen bekerja karena kesegembaran dengan Allah, bukan karena keharusan tragis
atau karena kutukan dewa. He is worker,
You and I co-worker. Allah bekerja menciptakan pohon karet, kita menciptakan
ban karet; Ia bekerja menciptakan pohon jati, kita menciptakan kursi jati.Kita
bekerja sebagai ekspresi kasih, baik terhadap Allah maupun terhadap
sesama.
Allah kita bekerja dalam enam hari untuk
menciptakan langit, bumi dan segala isinya (Kej. 1:31-2:1-3; Kel. 20:9), bahkan
sampai sekarang pun Ia masih bekerja (Yoh. 5:17; Rm. 8:28). Yesus banyak
berbicara tentang dunia pekerjaan (Mat. 20:1-16; 21:33-46). Dan setiap pekerja
layak untuk mendapat upah dari apa yang dikerjakannya (Mat. 10:10; Luk. 10:7; 1
Tim. 5:18). Selain sebagai Rabi, masyarakat saat itu juga mengenal Yesus
sebagai tukang kayu.
Begitu pula dengan rasul Paulus. Ia dipanggil
dan menerima jabatan rasul bagi orang-orang non Yahudi, tetapi juga bekerja
sebagai tukang kemah demi kesinambungan pelayanannya (Kis. 18:3). Perihal etos
kerjanya jangan diragukan, rasul Paulus “telah bekerja lebih keras dari pada
mereka semua” (1 Kor. 15:10) dan melakukannya dengan segenap hati seperti untuk
Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23; Flp. 2:14). Dalam suatu peristiwa,
rasul Paulus pernah memberi peringatan, “Jika seorang tidak mau bekerja,
janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Selain sebagai panggilan ilahi, bekerja
adalah cara ofensif terbaik untuk memerangi kemiskinan, memenuhi kebutuhan dan
menyumbang bagi orang lain. So, let’s work. RRS