Group
band legendaris The Rolling Stone merayakan ulang tahun emas ke-50 pada tanggal
12 Juli lalu. Lima puluh tahun lalu mereka tampil pertama kali di The Marquee Jazz
Club di jalan Oxford Street, London. Si bibir dower Mick Jagger sang vokalis,
sangat bersyukur atas anugerah Tuhan karena tetap eksis hingga sampai saat ini.
Mereka bahkan berencana mengadakan tour keliling dunia untuk menghibur para penggemarnya
walaupun usia mereka sudah mencapai 70 tahun .
Kehidupan
personil The Rolling Stones memang fenomenal. Mereka pernah terlibat narkotik, konflik
dengan sesama anggota grup, bahkan nyaris dibunuh namun hal itu tidak menumbangkan
karier mereka dalam bermusik. Tanggal 21 Februari 2012 lalu, Presiden Amerika
Barack Obama mengundang Mick Jagger untuk bernyanyi di East Room Gedung Putih,
Washington DC dalam acara “Black History Month,” untuk menghormati orang-orang
penting kulit hitam yang dulu disiksa dan sebenarnya memberikan pengaruh yang
baik bagi negara Amerika. Bahkan dipenghujung konser, Obama menyanyikan lagu
“Sweet Home Chicago” bersama Mick Jagger yang tak lain adalah sang idolanya.
Mick
Jagger dan groupnya pernah dikecam oleh umat Kristiani karena merilis lagu yang
berjudul “Sympathy for The Devil.” Lagu ini sarat dengan pemujaan setan dan pelecehan
terhadap Tuhan Yesus Kristus. Tetapi, memasuki usia senja Mick Jagger banyak
mengeluarkan hits yang bertema spiritiual, seperti: “See You In Paradise,” “God
Give Me Everything” atau “Vision of Paradise” dan lainnya. Dalam suatu wawancara,
Jagger berkomentar, “I don’t want to talk about Jesus, I just want to see His
face.” Di usia senja mereka terus berkarya sambil mensyukuri apa yang telah
Allah perbuat dalam hidup mereka. Still Alive and kicking. Never ending rock’n
roll.
Bagaimana
dengan ajaran Alkitab tentang masa tua? Di Mazmur 92:13-16 tertulis, “Orang
benar akan bertunas seperti pohon korma... Pada masa tua pun mereka masih
berbuah...” Tampaknya pemazmur sangat mengenal keberadaan pohon korma. Pohon
korma adalah pohon yang tinggi, lurus dan selalu menghijau. Umurnya bisa
mencapai puluhan tahun. Dan semakin lanjut usianya, maka pohon korma akan
menghasilkan buah-buah yang semakin berkualitas.
Di
bait Allah, pemazmur sering menceritakan tentang keberadaan pohon korma melalui
mazmur yang dinyanyikannya. Sebagian dari gubahan liriknya berbunyi demikian,
“Orang benar akan bertunas seperti pohon korma...” (Mzm. 92:13), “Pada masa tua
pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar” (Mzm. 92:15). Dengan memakai
gambaran tentang pohon, pemazmur hendak mengingatkan bahwa di masa tuapun orang
benar akan akan sanggup menjulang tinggi dalam berkarya dan menghasilkan
buah-buah yang bermutu. Masa tua bukan untuk menganggur atau berpangku tangan,
melainkan ada fungsinya sehingga menjadi kesaksian yang berfaedah bagi anak
cucunya.
Pemazmur
juga menggambarkan hidup orang benar bukan seperti pohon yang kering, kerdil
dan mudah patah ditiup oleh angin, melainkan “seperti pohon aras di Libanon
yang akan tumbuh subur” (Mzm. 92:13). Tinggi pohon aras bisa mencapai 40 meter
dengan batang yang berdiameter 2,5 meter. Selain tinggi besar, pohon aras juga
memiliki keistimewaan tersendiri. Bila pohon aras ditiup angin yang
sepoi-sepoi, maka dia akan lenggak-lenggok dan akan mengeluarkan bunyi seperti
orang bersiul. Semakin keras tiupan angin maka semakin keras pula bunyi
dikeluarkan, tetapi tidak satupun dahannya yang patah karena tertiup oleh angin.
Pohon aras biasanya tumbuh di puncak gunung yang sangat dingin.
Meskipun sangat dingin, namun pohon ini dapat bertahan hidup. Dalam segala
musim, daunnya tetap hijau dan tumbuh subur. Seolah-olah temperatur dingin
tidak berpengaruh sama sekali terhadap pertumbuhannya. Pohon aras adalah pohon
yang sangat kuat dan tahan uji terhadap perubahan cuaca dan usia. Semakin tua, kayunya semakin kuat
dan menjulang tinggi.
Apakah
yang menjadi penyebabnya? Lirik berikutnya berbunyi demikian, karena: “mereka
yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah” (Mzm. 92:14).
Akarnya semakin merambah dan mendalam di dalam Tuhan sehingga ia tetap kuat dan
memberi hidup yang dampak. Karena itulah, banyak orang datang untuk berteduh
sambil meminta nasehat atau mendengar kesaksian hidupnya. Keberhasilan yang
diraihnya di masa tua, bukan untuk memberitahukan kepada halayak ramai bahwa ia
sudah memiliki asam garam pengalaman hidup, melainkan semata “untuk
memberitahukan bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku” (Mzm. 92:16).
Usia
tua bukan menjadi faktor penghalang untuk berkarya. Di dunia politik, Golda Meir menjadi Perdana Menteri Israel pada usia 71 tahun. Di dunia seni George Bernad Shaw berusia 92 tahun ketika mengubah sandiwara
terakhirnya.
Di dunia bisnis, Ray Kroc berusia setengah abad
sebagai penjual mesin susu ketika dia memulai Mc Donald. Kini perusahaannya ada di seluruh pelosok jagad. Di dunia pendidikan
teologia, Pdt. Dr. Chris Marantika tetap mengajar dan berkotbah walaupun usia
sudah semakin senja. Kalau tidak salah
Titik Puspa sempat
putus asa ketika masih remaja karena menganggap dirinya jelek.Jikalau ada satu penghalang jelas bukan usia, tetapi orangnya sendiri(RRS)
(Refleksi Perumpamaan Tentang
Lalang Di antara Gandum)
Yesus sangat perhatian dan piawai dengan
dunia flora. Banyak perumpamaan yang dipakai-Nya berhubungan dengan tanaman.
Salah satu bagian dari kitab Injil di mana Yesus banyak membicarakan tentang
tanaman ada di dalam Matius pasal 13. Perumpamaan tentang lalang di antara gandum
tampaknya mendapat perhatian khusus dari Yesus sehingga Ia menjadikan sebagai
materi pelajaran yang harus disampaikan-Nya kepada halayak ramai.
Skenario dari narasi perumpamaan yang
disampaikan oleh Yesus adalah sebagai berikut. Di awal episode, Yesus
mengumpamakan perihal Kerajaan Sorga bagaikan penabur yang menabur benih yang
baik di ladangnya. Tetapi saat malam hari tiba, di kala orang pulas tertidur,
datanglah musuh dari tuan pemilik ladang untuk menabur benih lalang di ladang
gandum miliknya (Mat. 13:24-25). Kemudian episode dilanjutkan dengan munculnya
ke “pentas drama” para pekerja yang siap melontarkan pertanyaan kepada tuan
sang pemilik ladang gandum. Adalah hal yang menarik untuk mencermati pertanyaan
yang diajukan oleh para hamba tuan ladang, karena anda akan menemukan jawaban
yang menakjubkan. Mari kita cermati kelanjutan ceritanya.
Kehadiran Lalang di tengah ladang gandum
tampaknya menimbulkan dua pertanyaan. Pertama,
perihal, “dari manakah lalang itu?” (lihat Mat. 13:27). Pertanyaan
secara lugas dijawab, bahwa: benih lalang ditaburkan pada malam hari saat orang
tertidur, tentu sebagai maksud dari kejahatan terselubung (Mat. 13:25).
Penegasan Yesus kian menguatkan fakta bahwa lalang itu bukan berasal dari
kebaikan, tapi dari kejahatan dan benihnya ditaburkan di ladang gandum oleh
para musuh (lihat Mat. 13:25, 28). Walaupun gandum dan lalang sama-sama sebagai
tanaman rumput serta berada di lingkungan yang sama, tetapi mereka berbeda
dalam fungsi serta asal muasalnya.
Gandum dan Lalang adalah dua tanaman yang
sangat mirip, tetapi sebenar-nya sangat berbeda. Serupa dari sisi jenisnya,
tetapi tak sama dari sisi fungsinya. Gandum adalah makanan pokok yang sangat
berguna bagi manusia, sedangkan lalang sama sekali tidak berguna. Lalang hanya
menjadi makanan yang hanya diberikan untuk binatang, bukan untuk manusia.
Gandum adalah representasi dari manusia yang kehadirannya memberi dampak positif
bagi lingkungannya, berbeda dengan lalang yang fungsinya merusak dan meresahkan
lingkungan di mana ia berada. Gandum menggambarkan kebaikan, sementara lalang
adalah gambaran kejahatan. Gandum identik dengan berkat atau sesuatu yang
berfaedah, sedangkan lalang identik dengan laknat atau sesuatu yang tidak
berfaedah.
Lalang hidup dengan cara lebih banyak
menyerap sari makanan dari tanah, sehingga berdampak mengganggu pertumbuhan
gandum. Hal ini hendak menegaskan bahwa lalang mengidentifikasikan pribadi yang
memiliki sifat serakah dan tamak karena tidak mampu untuk berpuas diri.
Sebaliknya gandum mengidentifikasikan pribadi yang memiliki sifat mengalah dan
mampu untuk mencukupkan diri.
Sayangnya lalang dan gandum baru dapat
dibedakan ketika bulir-bulirnya muncul. Hal ini sebagai sinyalemen, terkadang
sulit membedakan antara yang baik dan jahat, seperti susahnya membedakan antara
lalang dengan gandum. Tetapi ada waktunya di mana “bulir-bulir gandum” atau
kebenaran akan muncul, sehingga terlihat jelas mana yang gandum dan mana yang
lalang.
Umat Allah yang digambarkan sebagai gandum
harus makin bertambah kuat agar tidak terjangkit “virus lalang” yang berada di
sekitarnya. Jangan pusingkan kehadiran lalang, tetapi pikirkanlah bagaimana
harus bertumbuh agar makin berkualitas, berdampak, teruji dan terpercaya. Tuhan
tidak suruh gandum untuk menghancurkan atau mencabut lalang dari lingkungan di
mana ia berada. Tuhan juga tidak memerintahkan malaikat untuk datang
mencabutinya. Lalang bukan untuk dimusuhi apalagi diperangi, melainkan dikasihi
dan dihadapi dengan penuh kesabaran. Meskipun lalang harus tumbuh di antara
gandum, tetapi gandum harus makin bertumbuh kuat dan meranum.
Pertanyaan kedua, “Jadi maukah tuan supaya
kami mencabut lalang itu?” (lihat Mat. 13:28). Menariknya dalam perumpamaan
ini, ditegaskan pelarangan untuk mencabutnya sebagai maksud untuk menjaga agar
gandum tidak sampai ikut tercabut (Mat. 13:29). Karena itulah, Yesus membiarkan
agar lalang dan gandum bertumbuh secara bersama hingga waktu menuai tiba (Mat.
13:30).
Menceramati secara seksama, saya menemukan
tiga kebenaran mendasar yang terkandung dalam perumpaan tentang lalang di
antara gandum. Pertama,
melalui perumpamaan ini, Yesus menetapkan suatu larangan di mana lalang tidak
boleh dicabut dari ladang gandum. Lalang dan gandum harus dibiarkan
hidup bersama di ladang yang sama. Artinya, kejahatan itu bukan untuk dicabut
atau dilenyapkan dari dunia ini atau dari lingkungan di mana orang percaya
berada, tetapi diredam atau diantisipasi laju dan modus kejahatannya. Kejahatan
tidak boleh dibalas dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan. Pembalasan
kejahatan adalah hak prerogative Allah, bukan hak yang harus dilakukan oleh
manusia (band. Rm. 12:17-18). Kita harus hidup dalam konstitusi dan umat Allah
harus menyerahkan kasus kejahatan dengan hukum atau konstitusi yang sudah
berlaku dan memberikan wewenang kepada pelaku hukum untuk menindaknya.
Setelah manusia jatuh dalam dosa, kejahatan
menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tetapi haruslah kita sadari bahwa Tuhan
tidak pernah menciptakan atau membuat kejahatan di dunia ini. Seperti halnya asal
dan tujuan lalang tersebut, maka kejahatan datangnya dari si jahat, bukan dari
Allah. Lalang adalah rekan sekerja dan menjadi alat yang dipakai oleh si jahat
untuk membuat dunia ini penuh dengan kejahatan. Selama iblis atau si jahat
masih ada di muka bumi ini, maka kejahatan itu pastilah selalu ada. Bila anda
ingin melenyapkan kejahatan dari dunia ini maka iblis yang seharusnya
dilenyapkan, bukan lalang atau manusia yang berlaku jahat oleh karena tipu daya
dari si jahat.
Mungkin anda berkata, mengapa Tuhan tidak
turun tangan untuk melenyapkan kejahatan dari dunia ini? Sifat utama Allah
adalah menyelamatkan, bukan melenyapkan atau membinasakan. Oleh
karena kasih setia-Nya sehingga Ia mau mengalah, tetapi tidak akan pernah terkalahkan.
Sepertinya Tuhan membiarkan kejahatan itu ada, karena sesungguhnya Dia hendak
menyatakan kebaikan di tengah-tengah kejahatan yang tengah melanda.
Pelarangan mencabut lalang sebagai bukti
bahwa Allah menentang arogansi atau “pencabutan” hak azasi manusia. Di negara
yang mengusung faham demokrasi, arogansi dan pelanggaran hak asasi manusia
adalah tindakan biadab dan tidak manusiawi. Marilah kita masuk kepada realita
kehidupan. Ketika seorang pendeta melakukan kejahatan moral, biasanya ada dua
keputusan yang mana salah satunya akan dijatuhkan kepadanya. Pertama, jabatan
atau posisinya sebagai pendeta dicabut, maka secara otomatis fungsinya sebagai
pendeta pun dinon-aktifkan, atau istilah umumnya dipecat. Kedua, jabatan atau
posisinya sebagai pendeta masih diberlakukan, tetapi fungsinya yang
dinon-aktifkan untuk sementara waktu hingga konsekuensi hukumannya berakhir,
atau istilah umumnya diskor. Bila anda diberi wewenang untuk memutuskan perkara
ini, jangan pernah abaikan pengajaran Yesus tentang perumpamaan lalang di
antara gandum.
Begitu pula ketika orang yang kita muridkan
berbuat dosa. Apakah statusnya sebagai murid dicabut, lalu ia dipecat sehingga
tidak berhak untuk mengikuti kelas pemuridan? Atau, statusnya masih tetap
sebagai murid dan berhak penuh untuk mengikuti kelas pemuridan, tetapi diberi
disiplin agar ia menyadari perbuatannya yang tidak mencerminkan keberadaannya
sebagai seorang murid Kristus? Di antara dua kasus di atas, saya sangat
menyetujui keputusan yang diambil adalah pilihan kedua. Bukankah seperti itu
makna yang terkandung dalam perumpamaan ini?
Kedua, melalui perumpamaan ini, manusia diberi suatu kesempatan
untuk memposisikan diri sebagai lalang atau gandum?Pantaslah bila Yesus
dikatakan sebagai Guru agung. Ia bukan semata cakap dalam memilih materi
pelajaran dan trampil dalam penguasaan metode pengajaran, tetapi kehidupan-Nya
juga adalah ajaran yang hidup. Yesus tidak hanya sekedar berwacana, tetapi juga
menerapkan apa yang dikatakan-Nya, seperti yang telah diperbuat kepada seluruh
murid-Nya, khususnya kepada Yudas Iskariot.
Dengan kemaha-tahuan-Nya pastilah Yesus
mengetahui bahwa Yudas adalah lalang, tetapi lalang itu dibiarkan-Nya berada
bersama dengan gandum dalam ladang yang sama. Yesus menegur, menyindir, bahkan
menghardik perbuatan Yudas sebagai suatu disiplin, tetapi bersamaan dengan itu
pula Yudas diberi kesempatan untuk berubah dan menyesali perbuatannya. Apakah
Yesus gagal karena Yudas murid-Nya itu tidak mau berubah? Tidak! Pada akhirnya,
Yudas sangat menyesali perbuatan dosanya, bahkan ia mengembalikan uang dari
hasil penghianatannya (lihat Mat. 27:3-5). Yang sangat disayangkan bukan
penyesalan Yudas yang terlambat, karena penjahat yang disalib bersama Yesus
juga bertobat mendekati saat kematiannya, tetapi yang sangat disesali adalah
tindakan bunuh diri yang dilakukannya (band. Kis. 1:18).
Negara kita Indonesia masuk dalam lima besar
negara yang tertinggi tingkat korupsinya. Saya sangat menyambut baik upaya
pemerintah untuk memberantas korupsi, tetapi kalau sistem kerjanya tidak
diperbaiki, maka korupsi akan terus terjadi, bahkan modus operandinya kian
bertambah canggih. Melalui perumpamaan ini Yesus Kristus sama sekali tidak
menentang hukum yang harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, tetapi memberi
penekanan bahwa yang harus mendapat perhatian dan pengupayaan secara intensif
adalah “sistem pengolahan ladang” dan “perawatan gandum yang ada di ladang.”
Hal seperti itulah yang menginspirasi lahirnya pernyataan bijak seperti,
“There’s no good society, without good men” (tanpa manusia baik, tidak akan pernah
tercipta pemerintahan yang baik) atau “the right man in the wrong place”
(manusia benar di tempat yang salah). Karena itulah, sistem yang dipergunakan
perlu mendapat perhatian secara seksama.
Secara pribadi, ada dua hal di mana saya
bersikap radikal, tentunya sikap radikal ini didasari oleh keyakinan saya
terhadap Alkitab yang saya percayai sebagai kebenaran mutlak. Pertama,
menentang keras upaya yang bersifat korupsi karena itu perbuatan yang
menyengsarakan masyarakat banyak. Kedua, menentang keras diberlakukannya
hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan kejahatan, termasuk juga
koruptor. Mungkin anda bertanya, lewat jalur mana anda menentangnya? Ada wadah
khusus yang disediakan bagi saya untuk menyatakan kebenaran yang saya yakini.
Bisa, melalui mimbar saat saya berkotbah atau melalui kampus tempat di mana
saya mengajar atau melalui tulisan yang sedang anda baca saat ini. Tetapi belum
tuntas mengenai apa yang hendak saya sampaikan. Pastinya, saya akan lebih
bersikap radikal bila koruptor yang tidak dihukum mati itu bisa seenaknya
keluar dari penjara hanya semata untuk menyaksikan pertandingan tennis atau
kongkow dengan keluarga dan handai taulannya. Wah itu lebih menyakitkan hati.
Nah, makanya Yesuslah yang benar, sistem peradilan dan penanganan terhadap para
hukuman perlu mendapat perhatian yang lebih seksama. Bukankah sistem yang baik
akan memperkecil kejahatan yang ada? Dan pastinya, sistem yang baik akan
memberi kesempatan bagi yang jahat untuk menjadi baik.
Begitu pula dengan kerukunan umat beragama. Sia-sia
kita ngomong dan mengupayakan kerukunan bila di dalam hati masih melekat
“stigma negatif” terhadap agama atau kepercayaan yang berbeda dengan kita. Saya
prihatin melihat gereja dilarang beribadah karena persoalan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB). Menurut saya sangatlah wajar bila ijin mendirikan gedung usaha perlu dikaji secara
seksama, tetapi mendirikan gedung ibadah
proses perijinannya seharusnya bersifat praktis dan taktis, tanpa mereduksi
nilai-nilai yuridis tentunya.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak
untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan enam agama yang telah mendapat
pengakuan negara, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu
memiliki hak yang sama untuk beribadah kepada Tuhan serta menjalankan syariat
agamanya masing-masing. Menurut hemat saya, yang perlu mendapat perhatian
secara seksama adalah implementasi
dari agama tersebut, bukan institusinya.
Bila umat dari suatu institusi agama berbuat kejahatan, bukan institusinya yang
ditutup melainkan ajaran, pengajar atau pelaku agamanya yang perlu direvisi dan
ditindaklanjuti agar tetap konsisten dalam konstitusi dan panggilannya.
Kewajiban aparat terkaitlah yang melakukan pembinaan,
bukan pembinasaan!
Tampaknya “drama” perumpamaan
tentang lalang di antara gandum masih “to be continue” belum “the end” dan saya
yakin anda tidak beranjak dan mengganti channel
yang ada. Episode dilanjutkan kembali dengan tema rasa ingin tahu dari para
murid sehingga mereka meminta Yesus untuk menjelaskan lagi maksud dari
perumpamaan yang telah disampaikan-Nya (lihat Mat. 13:36-42). Dengan bahasa
yang lugas dan sederhana Yesus menjawab, bahwa: orang yang menabur benih baik
itu adalah diri-Nya. Ladang adalah dunia. Benih yang baik itu anak-anak
Kerajaan Allah dan lalang adalah anak-anak si jahat. Sementara musuh yang
menabur benih lalang itu adalah iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para
penuai adalah mailaikat Allah (lihat Mat. 13:37-39). Tampaknya jawaban Yesus
memberikan kejelasan, karena tidak ada pertanyaan lanjut yang dilontarkan oleh
murid-murid-Nya.
Ketiga, melalui perumpamaan ini, manusia diingatkan akan
adanya kelak suatu masa yang dinamakan akhir zaman.Seperti
kebanyakan kisah drama, di mana jagoannya selalu menang di bagian akhir (happy
ending). “Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari
dalam kerajaan Bapa mereka” (Mat. 13:43a). Episode akhir dari “drama”
perumpamaan tentang lalang di antara gandum, merupakan kisah tragis yang sangat
mencekam dan menakutkan tentang nasib akhir yang akan dialami oleh penabur
lalang beserta dengan kroni-kroninya (lihat Mat. 13:40-43).
Perihal “akhir zaman” ditanggapi oleh
masyarakat modern dengan beragam sikap. Ada kelompok masyarakat yang
mempercayai keberadaan dan realitas akhir zaman, tetapi salah dalam
penerapannya. Mereka sibuk mencari tahu perihal tanggal kepastian mengenai
peristiwa akhir zaman, padahal hanya Allah semata yang mengetahui kapan
kepastiannya? Kita harus meyakini bahwa akhir zaman pasti akan terjadi, tetapi
tidak ada seorang pun dapat memastikan tanggal kepastiannya. Bila ada yang
merasa dapat memastikannya, sesungguhnya orang itu adalah pendusta belaka!
Kelompok masyarakat lainnya, berusaha menolak
keberadaan dan realitas neraka dengan sikap yang berbeda. Yang bersikap agak
halus, akan berkata, “Allah itu ada, tetapi Ia adalah Allah yang penuh kasih
sehingga Ia tidak akan dan tidak mungkin menyuruh seseorang ke neraka.” Ada
juga yang bersikap mengejek dengan pongahnya sambil berkata, “Allah mungkin
ada, tetapi bodohlah untuk memikirkan tentang banyak sekali roh tanpa tubuh
yang tersiksa dalam suatu lautan api sesungguhnya di suatu tempat.” Dan yang
terang-terang menentang adanya neraka, seperti Ateis Robert G. Ingersoll dengan
sinis mengatakan, “Ide tentang neraka lahir dari keinginan untuk membalas
dendam serta kekejaman di satu pihak, dan kepengecutan di pihak lain... Aku
tidak menaruh respek kepada orang yang memberitakan hal tersebut... Aku tidak
menyukai doktrin ini, aku membencinya, aku tidak menghargainya, aku menentang
doktrin ini!” (H.L. Willmington, Eskatologi. Malang: Gandum Mas, 1994, hal. 332).
Manusia cendrung meragukan akan
sesuatu yang bersifat supra natural, mungkin karena tidak dapat dilihat secara
kasat mata. Tetapi apakah sesuatu yang bersifat supra natural itu sesungguhnya tidak ada, atau karena faktor tidak tahu? Apakah sesuatu yang tidak
dapat kita ketahui, itu pasti tidak ada? Apakah sesuatu yang tidak dapat kita
lihat, harus ditolak dan tidak perlu untuk dipercayai?
Ambillah satu contoh. Bisakah anda
memperlihatkan kepada saya letak hati nurani di dalam diri manusia, atau posisi
pikiran tepatnya terletak di mana? Saya yakin anda pasti dapat memastikan bahwa
otak berada di kepala, begitu pula dengan hati yang berada di bagian dalam
tubuh kita. Alangkah naifnya, bila anda tidak mempercayai adanya hati nurani
atau pikiran dalam diri manusia sehingga mengatakan bahwa keberadaannya tidak
ada. Lebih naif lagi, bila anda mengartikan bahwa itu berupa kiasan yang harus
ditafsirkan secara simbolis atau alegori. Mungkin didasari akan hal itulah,
maka Yesus mengakiri perumpamaan-Nya dengan kalimat seru, “Siapa bertelinga,
hendaklah ia mendengar!” (lihat Mat. 13:43b).
“.. Maka menyesallah TUHAN,
bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan
hati-Nya” (Kejadian 6:6)
Ada pernyataan berbunyi
demikian, “penyesalan selalu datang belakangan.”Maksudnya ialah, seseorang akan menyesal terhadap sesuatu karena
ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa sesuatu itu akan terjadi demikian. Bila
seseorang mengetahui pada awalnya, maka apapun yang akan terjadi, ia tidak akan
pernah menyesalinya. Hal inilah yang diartikan sebagai penyesalan.
Apa maksud dari ungkapan, “Allah Menyesal” dalam ayat ini? Apa memang Allah
tidak dapat mengetahui apa yang terjadi kelak terhadap manusia sehingga Ia menyesal? Bila anda beranggapan demikian, maka anda sudah menyatakan bahwa Allah itu bukanlah Allah yang maha tahu! Lalu,
bagaimana bila dikaitkan dengan
pernyataan Paulus dalam Roma 11:29, bahwa: “Ia tidak menyesali.”Apakah ada indikasi bahwa
Ia adalah Allah yang tidak konsisten dengan pernyataan-Nya? Apakah memang pantas bila kitamengatakan bahwa
ayat-ayat di dalam Alkitab itu kontradiksi satu sama lain. Benarkah
demikian?
Dalam kelas Antropologi di Sekolah
Tinggi Theologi, saya selalu mengajarkan bahwa manusia
itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (band. Kej. 1:26). Itu berarti ada kesamaan
antara manusia dengan Allah, bukan? Kesamaan itu tentunya bukan kesamaan
jasmani, karena Allah itu adalah Roh. Kesamaan antara Allah dan manusia adalah kesamaan
moral, sosial dan mental. Tetapi kenyataannya, manusia yang diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah itu malah memilih untuk hidup tidak bermoral dan berdosa
di mata Allah. Hal itu berawal dari dosa amoral yang dilakukan oleh Adam dan
Hawa (Kej. 3:18-19), kemudian dilanjutkan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh
keturunannya, yakni Kain (Kej. 4:6-12). Ini pembunuhan terbesar dan yang
pertama di dunia karena menelan korban seperempat penduduk bumi
(karena memang hanya empat orang jumlah manusia di bumi pada saat itu. Maaf ini hanya kelakar). Generasi berikutnya, Lamekh juga menjadi pembunuh
(Kej. 4:23). Alkitab menginformasikan bahwa eskalase kejahatan manusia
terus mengalami peningkatan secara signifikan (Kej. 6:5), seiring dengan
pesatnya pertumbuhan populasi manusia pada saat itu (Kej 6:1). Dengan kondisi kehidupan manusia seperti itu, maka akibatnya
Allah berkata, “menyesal
telah menjadikan manusia.”
Guna pemahaman secara komprehensif
atas pernyataan ”Allah menyesal” dalam Kejadian 6:6 ini, sebaiknya kita mencermati alur gagasannya terlebih dahulu. Pertama, gagasan dalam
Kejadian 6:1-4: Kejahatan manusia adalah suatu kenyataan. Kedua, gagasan dalam
kitab Kejadian 6:5-7: Keadilan Allah atas kejahatan adalah suatu kenyataan. Dan
ketiga, gagasan dalam kitab Kejadian 6:8: Kasih Allah atas kejahatan manusia adalah suatu kenyataan.
Kejadian 6:1-4, merupakan eksposisi
atas penjelasan tentang kejahatan yang manusia lakukan di muka bumi. Alkitab
memberi penegasan bahwa kejahatan manusia semakin bertambah banyak (lihat Kej.
6:5). Selain kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kain dan Lamekh (band. Kej.
4:6-12, 23), salah satu kejahatan yang telah dilakukan oleh manusia adalah
perkawinan campur di antara garis keturunan Ilahi dan nir Ilahi (band. Kej.
6:2). Secara jelas kitab Kejadian mengungkapkan bahwa kejahatan anak-anak Allah bukan sekedar perkawinan
campur semata, tetapi juga berpoligami. Pernyataan, “siapa saja
yang disukai” dalam Kejadian 6:2, menegaskan bahwa perkawinan secara poligami
merupakan kejahatan besar di mata Allah, terlebih lagi bila berpoligami dengan garis keturunan yang berbeda. Mengapa demikian?
Karena Allah mendesign perkawinan atas umat-Nya secara monogami dan sepadan
dalam pengertian di sini seiman dan memiliki garis keturunan Ilahi yang sama.
Hal ini kian dipertegas dengan ungkapan satu daging dalam Kejadian 2:24 yang mana istilah ini hanya dipakai
untuk hubungan suami istri yang monogami (band. Mat. 19:5; Ef. 5:31). Kemudian, kata “kejahatan” dalam Kejadian 6:5, diterjemahkan dari kata Ibrani: “ra”yang mana kata inimenunjuk kepada tingkah laku yang
tidak diperkenankan oleh Tuhan (band. Bil. 32:13; Ul. 4:25; 9:18;
Hak. 2:11; 3:7, 12). Kejahatan seperti
itulah yang dimaksudkan sebagai dosa terhadap Allah yang diungkapkan secara tegas oleh Yusuf
ketika isteri Potifar mencoba mengajaknya untuk berzinah (baca Kej.
39:9).
Bagian kedua dari alur gagasan
Kejadian 6:5-7, di awali dengan inisiatif Allah dalam melihat dan meresponi kejahatan
yang telah dilakukan oleh manusia. Kata "melihat" dalam Kejadian
6:5 diterjemahkan dari kata Ibrani "raah"yang berarti memandang dan mempertimbangkan sikap terciptanya suatu
dosa. Maksudnya adalah, Allah tidak sewenang-wenang menjatuhkan murka-Nya,
tetapi terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dan pengamatan terhadap dosa
yang sudah diperbuat oleh manusia itu
sebelum menjatuhkan hukuman (band. Kej 11:5; Kel. 3:7, 9;
4:31).
Sebagai akibat dari kejahatan yang telah diperbuat oleh manusia, di mana Allah melihat sendiri perbuatan dosa
umat-Nya, maka menyesal Allah (band. Kej. 6:6). Apa maksudnya Allah menyesal
dalam hal ini? Kata “Allah menyesal” sering menjadi diskusi hangat. Di sisi
lain ada ungkapan dalam Perjanjian Lama bahwa Allah tidak pernah menyesal
(lihat I Sam. 15:29; Bil 23:19; Yer. 4:28; Yeh. 14:24). Tetapi dalam Kejadian 6
atau bagian lain berulang-ulang dikatakan bahwa Allah menyesal (band. Kel.
32:14; I Sam. 15:11, 35; II Sam. 24:16; Yer. 18:8,10;
26:19; 42:10; Am. 7:3,6; Yun. 3:10; 4:2 dan I Taw. 21:15). Oleh karena itu marilah kita cermati lebih
lanjut secara seksama.
Kata “menyesal”
dalam ayat 6, diterjemahkan dari kata Ibrani “wayyinakhem” dengan stem
Niphal imperatif, yang secara gramatikal memiliki pengertian bahwa Allah
menyakiti atau menyedihkan hati-Nya. Allah sangat menderita oleh karena dosa
yang telah dan tengah diperbuat oleh umat-Nya. Dan kesedihan atau kesakitan yang dialami
oleh Allah itu disebabkan oleh dosa manusia yang memperburuk dan merusakkan
ciptaan-Nya (band. Yes 43:24b), membuat Ia menyesal. Jadi, kata “menyesal”
dalam Kejadian 6:6-7 bukan berarti Allah merubah pikiran atau kapok atau tobat
atau kata yang sejenis dengan itu. Dalam teks asli, kata ini menggambaran perihal seseorang yang sakit perut atau eneg atau yang
sejenis dengan itu. Akibat melihat kejahatan manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya, maka Allah menjadi sakit perut atau eneg, seperti itulah
penggambarannya. Dalam Perjanjian Baru, kata "menyesal" dalam ayat ini sejajar artinya dengan apa yang
diungkapkan oleh Paulus, yakni "mendukakan Roh Kudus" (band. Ef. 4:30).
Penyesalan
Allah selalu menunjuk
kepada keadilan dan kasih-Nya. Allah yang sebagai hakim itu (band. Kej. 16:5; I
Sam. 24:13; Mzm. 7:9; 50:6; Yes. 33:22) akan membalaskan kejahatan yang
setimpal kepada umat-Nya. Allah tidak dapat kompromi dengan dosa karena Ia
sendiri sebagai penuntut segala macam dosa – pembalas (band. Ul. 32:35, 41;
Mzm. 94:1; Yes. 34:8, 35:4). Ia menciptakan manusia dalam keberadaan sungguh
amat baik (Kej. 1:31). Tentunya, Allah mengharapkan manusia hidup secara baik dalam pandangan-Nya.
Manusia diciptakan oleh Allah tanpa dosa, ekspektasinya agar manusia tidak hidup dalam
dosa. Dosa itulah yang dibenci oleh Allah. Dosa itulah yang membuat manusia
terpisah dan menerima hukuman Allah. Dan dosa itu pulalah yang membuat Allah “eneg” atau menjadi “sakit
perut.”
Mungkin
timbul kesan negatif, apakah Allah tidak mengasihi manusia ciptaan-Nya sehingga Ia memberi penghukuman? Tentulah, Allah tetap mengasihi
manusia ciptaan-Nya, tetapi Ia juga adalah
Allah yang tidak terikat kepada ciptaan-Nya. Karena itulah, maka penghukuman Allah tidak dapat
dielakkan. Saat penghukuman
dijatuhkan maka secara otomatis Allah merasa sakit atau sedih melihat manusia menerima hukuman daripada-Nyabersamaan dengan rasa sakit yang dirasakan-Nya
akibat kejahatan yang diperbuat oleh manusia yang sangat dikasihi-Nya itu. Jadi, penghukuman Allah terhadap manusia
berdosa didasari oleh kasih dan keadilan Allah. Walter Lempp menanggapi hal ini
dengan berkata: “Tetapi oleh sebab rencana-Nya yang baik
untuk manusia itu diganggu oleh manusia, Allah marah, oleh sebab Ia mengasihi
manusia. Hukuman-Nya hanya merupakan satu segi dari kasih sayang-Nya.”
Bukti bahwa Allah tetap mengasihi
manusia dapat di lihat dengan keberadaan Nuh. Nuh di mata Allah sebagai orang benar dan
mendapat kasih karunia Allah (band. Kej. 6:9; 7:1). Di tengah situasi dan
kondisi yang penuh dengan kejahatan, Nuh tetap hidup benar di mata Tuhan.
Situasi dan kondisi tidak mempengaruhinya, malah ia berusaha mempengaruhi orang
agar meninggalkan kejahatan, meskipun
ia diolok dan
direndahkan. Hingga pada akhirnya, melalui Nuh peradaban dan kelangsungan
manusia boleh kembali tercipta. Penyelamatan terhadap Nuh yang merupakan kasih
karunia, membuktikan bahwa Allah tetap mengasihi manusia ciptaan-Nya. Ia
membenci dosa manusia, tetapi Ia mengasihi pribadi manusia berdosa. Bilamana manusia berdosa mau bertobat dan mengakui segala dosanya, maka Allah
akan mengampuni dan memulihkannya (band. II Taw. 7:14; I Yoh. 1:9).
Suatu hari seorang rekan bertanya
kepada saya dengan sebuah pertanyaan yang menarik untuk
dicermati, “Bisa atau tidak orang Kristen hidup kudus?” Spontan saya menjawab, “bisa!”
Kalau tidak bisa untuk apa Allah memerintahkan agar kita hidup kudus? Lalu ia
kembali bertanya, “Bisa atau tidak orang Kristen tidak berdosa?” Terdiam sejenak untuk merenungi pertanyaannya, lalu saya
menjawab, “tidak bisa! Karena pada hakekatnya hanya
manusia Yesus Kristus dari Nazareth yang sama sekali tidak berdosa.”
Lalu kedua
pertanyaan di atas mengingatkan saya tentang gambaran yang dipakai oleh Petrus perihal “babi yang mandi kembali lagi ke
kubangannya” (lihat 2 Ptr. 2:22). Saya ajak anda untuk melihat perbandingan
antara babi dan domba.
Suatu ketika domba dan babi yang
tengah menapaki perjalanan jatuh terjerembab ke dalam kubangan lumpur akibat dari kecerobohannya. Respon dari kedua binatang yang jatuh ke dalam
kubangan lumpur itu sangat perlu untuk
kita renungkan.
Ketika domba jatuh ke dalam kubangan lumpur, maka secara spontan ia akan berusaha untuk ke luar dari kubangan itu karena domba adalah binatang
yang tidak suka dengan hal yang kotor. Lain halnya dengan binatang babi. Babi
malah asyik menikmati dan sama sekali tidak berinisiatif untuk ke luar dari
kubangan lumpur itu karena memang babi adalah binatang yang suka dengan
kubangan lumpur yang kotor. Kemungkinan itu yang menjadi alasan kenapa gereja
Tuhan digambarkan sebagai Domba, bukan Babi! Jadi, gereja Tuhan bisa saja jatuh
dalam dosa, tetapi ia akan segera bangkit dan tidak
tenggelam dalam kubangan dosa karena pada dasarnya ia sudah tidak terikat lagi
dengan belenggu dosa. Kalaupun ia terjatuh ia tidak akan tergeletak.
Apa pelajaran rohani yang dapat kita petik melalui topik pembahasan
ini? Ada dua hal yang perlu untuk kita hayati secara
seksama. Pertama, bila saat
ini kita terjatuh dalam kubangan lumpur dosa, maka jangan menunda waktu, segeralah bangkit untuk keluar,
bila tidak maka Allah akan “menyesal” jadinya.
Kedua, jangan coba menjalin cinta dengan seseorang yang
tidak seiman, karena tidak mungkin gelap dan terang dapat bersatu. Mungkin anda
berkata, “kan saya hendak memenangkan jiwa?” Sebaiknya jangan coba bermain api,
takutnya anda terbakar nantinya. Klaim lah firman Tuhan, bahwa: “Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Pastilah, Tuhan menciptakan
manusia itu untuk berpasangan-pasangan, terkecuali bagi mereka yang terpanggil
untuk hidup melajang – calibacy (band.1 Kor. 7:7-8; Mat. 19:12). Singkat kata,
jalinlah cinta dan nikahilah seseorang yang hidup takut akan Tuhan, bukan karena bebet, bobot dan bibitnya. Niscahya, anda akan merasakan nikmatnya pernikahan yang luhur dan akbar ini.
Di dasari oleh kasih, maka sekitar dua ribu tahun yang lalu Allah menjadi manusia dan
mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita. Karena panjang dan dalam kasih-Nyamaka sepertinya
Allah tidak peduli atas dosa yang kita perbuat. Tetapi bila kita terus menerus mengeraskan hati, maka ada saatnya Allah akan “menyesal” sehingga Ia menyatakan keadilan-Nya dengan menjatuhkan penghukuman atas dosa yang kita perbuat. Oleh
karena itu berjaga-jagalah sebab “ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan
Allah yang hidup” (Ibr. 10:32).