Haruskah Lalang Dicabut?
(Refleksi Perumpamaan Tentang
Lalang Di antara Gandum)
Yesus sangat perhatian dan piawai dengan
dunia flora. Banyak perumpamaan yang dipakai-Nya berhubungan dengan tanaman.
Salah satu bagian dari kitab Injil di mana Yesus banyak membicarakan tentang
tanaman ada di dalam Matius pasal 13. Perumpamaan tentang lalang di antara gandum
tampaknya mendapat perhatian khusus dari Yesus sehingga Ia menjadikan sebagai
materi pelajaran yang harus disampaikan-Nya kepada halayak ramai.
Skenario dari narasi perumpamaan yang
disampaikan oleh Yesus adalah sebagai berikut. Di awal episode, Yesus
mengumpamakan perihal Kerajaan Sorga bagaikan penabur yang menabur benih yang
baik di ladangnya. Tetapi saat malam hari tiba, di kala orang pulas tertidur,
datanglah musuh dari tuan pemilik ladang untuk menabur benih lalang di ladang
gandum miliknya (Mat. 13:24-25). Kemudian episode dilanjutkan dengan munculnya
ke “pentas drama” para pekerja yang siap melontarkan pertanyaan kepada tuan
sang pemilik ladang gandum. Adalah hal yang menarik untuk mencermati pertanyaan
yang diajukan oleh para hamba tuan ladang, karena anda akan menemukan jawaban
yang menakjubkan. Mari kita cermati kelanjutan ceritanya.
Kehadiran Lalang di tengah ladang gandum
tampaknya menimbulkan dua pertanyaan. Pertama,
perihal, “dari manakah lalang itu?” (lihat Mat. 13:27). Pertanyaan
secara lugas dijawab, bahwa: benih lalang ditaburkan pada malam hari saat orang
tertidur, tentu sebagai maksud dari kejahatan terselubung (Mat. 13:25).
Penegasan Yesus kian menguatkan fakta bahwa lalang itu bukan berasal dari
kebaikan, tapi dari kejahatan dan benihnya ditaburkan di ladang gandum oleh
para musuh (lihat Mat. 13:25, 28). Walaupun gandum dan lalang sama-sama sebagai
tanaman rumput serta berada di lingkungan yang sama, tetapi mereka berbeda
dalam fungsi serta asal muasalnya.
Gandum dan Lalang adalah dua tanaman yang
sangat mirip, tetapi sebenar-nya sangat berbeda. Serupa dari sisi jenisnya,
tetapi tak sama dari sisi fungsinya. Gandum adalah makanan pokok yang sangat
berguna bagi manusia, sedangkan lalang sama sekali tidak berguna. Lalang hanya
menjadi makanan yang hanya diberikan untuk binatang, bukan untuk manusia.
Gandum adalah representasi dari manusia yang kehadirannya memberi dampak positif
bagi lingkungannya, berbeda dengan lalang yang fungsinya merusak dan meresahkan
lingkungan di mana ia berada. Gandum menggambarkan kebaikan, sementara lalang
adalah gambaran kejahatan. Gandum identik dengan berkat atau sesuatu yang
berfaedah, sedangkan lalang identik dengan laknat atau sesuatu yang tidak
berfaedah.
Lalang hidup dengan cara lebih banyak
menyerap sari makanan dari tanah, sehingga berdampak mengganggu pertumbuhan
gandum. Hal ini hendak menegaskan bahwa lalang mengidentifikasikan pribadi yang
memiliki sifat serakah dan tamak karena tidak mampu untuk berpuas diri.
Sebaliknya gandum mengidentifikasikan pribadi yang memiliki sifat mengalah dan
mampu untuk mencukupkan diri.
Sayangnya lalang dan gandum baru dapat
dibedakan ketika bulir-bulirnya muncul. Hal ini sebagai sinyalemen, terkadang
sulit membedakan antara yang baik dan jahat, seperti susahnya membedakan antara
lalang dengan gandum. Tetapi ada waktunya di mana “bulir-bulir gandum” atau
kebenaran akan muncul, sehingga terlihat jelas mana yang gandum dan mana yang
lalang.
Umat Allah yang digambarkan sebagai gandum
harus makin bertambah kuat agar tidak terjangkit “virus lalang” yang berada di
sekitarnya. Jangan pusingkan kehadiran lalang, tetapi pikirkanlah bagaimana
harus bertumbuh agar makin berkualitas, berdampak, teruji dan terpercaya. Tuhan
tidak suruh gandum untuk menghancurkan atau mencabut lalang dari lingkungan di
mana ia berada. Tuhan juga tidak memerintahkan malaikat untuk datang
mencabutinya. Lalang bukan untuk dimusuhi apalagi diperangi, melainkan dikasihi
dan dihadapi dengan penuh kesabaran. Meskipun lalang harus tumbuh di antara
gandum, tetapi gandum harus makin bertumbuh kuat dan meranum.
Pertanyaan kedua, “Jadi maukah tuan supaya
kami mencabut lalang itu?” (lihat Mat. 13:28). Menariknya dalam perumpamaan
ini, ditegaskan pelarangan untuk mencabutnya sebagai maksud untuk menjaga agar
gandum tidak sampai ikut tercabut (Mat. 13:29). Karena itulah, Yesus membiarkan
agar lalang dan gandum bertumbuh secara bersama hingga waktu menuai tiba (Mat.
13:30).
Menceramati secara seksama, saya menemukan
tiga kebenaran mendasar yang terkandung dalam perumpaan tentang lalang di
antara gandum. Pertama,
melalui perumpamaan ini, Yesus menetapkan suatu larangan di mana lalang tidak
boleh dicabut dari ladang gandum. Lalang dan gandum harus dibiarkan
hidup bersama di ladang yang sama. Artinya, kejahatan itu bukan untuk dicabut
atau dilenyapkan dari dunia ini atau dari lingkungan di mana orang percaya
berada, tetapi diredam atau diantisipasi laju dan modus kejahatannya. Kejahatan
tidak boleh dibalas dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan. Pembalasan
kejahatan adalah hak prerogative Allah, bukan hak yang harus dilakukan oleh
manusia (band. Rm. 12:17-18). Kita harus hidup dalam konstitusi dan umat Allah
harus menyerahkan kasus kejahatan dengan hukum atau konstitusi yang sudah
berlaku dan memberikan wewenang kepada pelaku hukum untuk menindaknya.
Setelah manusia jatuh dalam dosa, kejahatan
menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tetapi haruslah kita sadari bahwa Tuhan
tidak pernah menciptakan atau membuat kejahatan di dunia ini. Seperti halnya asal
dan tujuan lalang tersebut, maka kejahatan datangnya dari si jahat, bukan dari
Allah. Lalang adalah rekan sekerja dan menjadi alat yang dipakai oleh si jahat
untuk membuat dunia ini penuh dengan kejahatan. Selama iblis atau si jahat
masih ada di muka bumi ini, maka kejahatan itu pastilah selalu ada. Bila anda
ingin melenyapkan kejahatan dari dunia ini maka iblis yang seharusnya
dilenyapkan, bukan lalang atau manusia yang berlaku jahat oleh karena tipu daya
dari si jahat.
Mungkin anda berkata, mengapa Tuhan tidak
turun tangan untuk melenyapkan kejahatan dari dunia ini? Sifat utama Allah
adalah menyelamatkan, bukan melenyapkan atau membinasakan. Oleh
karena kasih setia-Nya sehingga Ia mau mengalah, tetapi tidak akan pernah terkalahkan.
Sepertinya Tuhan membiarkan kejahatan itu ada, karena sesungguhnya Dia hendak
menyatakan kebaikan di tengah-tengah kejahatan yang tengah melanda.
Pelarangan mencabut lalang sebagai bukti
bahwa Allah menentang arogansi atau “pencabutan” hak azasi manusia. Di negara
yang mengusung faham demokrasi, arogansi dan pelanggaran hak asasi manusia
adalah tindakan biadab dan tidak manusiawi. Marilah kita masuk kepada realita
kehidupan. Ketika seorang pendeta melakukan kejahatan moral, biasanya ada dua
keputusan yang mana salah satunya akan dijatuhkan kepadanya. Pertama, jabatan
atau posisinya sebagai pendeta dicabut, maka secara otomatis fungsinya sebagai
pendeta pun dinon-aktifkan, atau istilah umumnya dipecat. Kedua, jabatan atau
posisinya sebagai pendeta masih diberlakukan, tetapi fungsinya yang
dinon-aktifkan untuk sementara waktu hingga konsekuensi hukumannya berakhir,
atau istilah umumnya diskor. Bila anda diberi wewenang untuk memutuskan perkara
ini, jangan pernah abaikan pengajaran Yesus tentang perumpamaan lalang di
antara gandum.
Begitu pula ketika orang yang kita muridkan
berbuat dosa. Apakah statusnya sebagai murid dicabut, lalu ia dipecat sehingga
tidak berhak untuk mengikuti kelas pemuridan? Atau, statusnya masih tetap
sebagai murid dan berhak penuh untuk mengikuti kelas pemuridan, tetapi diberi
disiplin agar ia menyadari perbuatannya yang tidak mencerminkan keberadaannya
sebagai seorang murid Kristus? Di antara dua kasus di atas, saya sangat
menyetujui keputusan yang diambil adalah pilihan kedua. Bukankah seperti itu
makna yang terkandung dalam perumpamaan ini?
Kedua, melalui perumpamaan ini, manusia diberi suatu kesempatan
untuk memposisikan diri sebagai lalang atau gandum? Pantaslah bila Yesus
dikatakan sebagai Guru agung. Ia bukan semata cakap dalam memilih materi
pelajaran dan trampil dalam penguasaan metode pengajaran, tetapi kehidupan-Nya
juga adalah ajaran yang hidup. Yesus tidak hanya sekedar berwacana, tetapi juga
menerapkan apa yang dikatakan-Nya, seperti yang telah diperbuat kepada seluruh
murid-Nya, khususnya kepada Yudas Iskariot.
Dengan kemaha-tahuan-Nya pastilah Yesus
mengetahui bahwa Yudas adalah lalang, tetapi lalang itu dibiarkan-Nya berada
bersama dengan gandum dalam ladang yang sama. Yesus menegur, menyindir, bahkan
menghardik perbuatan Yudas sebagai suatu disiplin, tetapi bersamaan dengan itu
pula Yudas diberi kesempatan untuk berubah dan menyesali perbuatannya. Apakah
Yesus gagal karena Yudas murid-Nya itu tidak mau berubah? Tidak! Pada akhirnya,
Yudas sangat menyesali perbuatan dosanya, bahkan ia mengembalikan uang dari
hasil penghianatannya (lihat Mat. 27:3-5). Yang sangat disayangkan bukan
penyesalan Yudas yang terlambat, karena penjahat yang disalib bersama Yesus
juga bertobat mendekati saat kematiannya, tetapi yang sangat disesali adalah
tindakan bunuh diri yang dilakukannya (band. Kis. 1:18).
Negara kita Indonesia masuk dalam lima besar
negara yang tertinggi tingkat korupsinya. Saya sangat menyambut baik upaya
pemerintah untuk memberantas korupsi, tetapi kalau sistem kerjanya tidak
diperbaiki, maka korupsi akan terus terjadi, bahkan modus operandinya kian
bertambah canggih. Melalui perumpamaan ini Yesus Kristus sama sekali tidak
menentang hukum yang harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, tetapi memberi
penekanan bahwa yang harus mendapat perhatian dan pengupayaan secara intensif
adalah “sistem pengolahan ladang” dan “perawatan gandum yang ada di ladang.”
Hal seperti itulah yang menginspirasi lahirnya pernyataan bijak seperti,
“There’s no good society, without good men” (tanpa manusia baik, tidak akan pernah
tercipta pemerintahan yang baik) atau “the right man in the wrong place”
(manusia benar di tempat yang salah). Karena itulah, sistem yang dipergunakan
perlu mendapat perhatian secara seksama.
Secara pribadi, ada dua hal di mana saya
bersikap radikal, tentunya sikap radikal ini didasari oleh keyakinan saya
terhadap Alkitab yang saya percayai sebagai kebenaran mutlak. Pertama,
menentang keras upaya yang bersifat korupsi karena itu perbuatan yang
menyengsarakan masyarakat banyak. Kedua, menentang keras diberlakukannya
hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan kejahatan, termasuk juga
koruptor. Mungkin anda bertanya, lewat jalur mana anda menentangnya? Ada wadah
khusus yang disediakan bagi saya untuk menyatakan kebenaran yang saya yakini.
Bisa, melalui mimbar saat saya berkotbah atau melalui kampus tempat di mana
saya mengajar atau melalui tulisan yang sedang anda baca saat ini. Tetapi belum
tuntas mengenai apa yang hendak saya sampaikan. Pastinya, saya akan lebih
bersikap radikal bila koruptor yang tidak dihukum mati itu bisa seenaknya
keluar dari penjara hanya semata untuk menyaksikan pertandingan tennis atau
kongkow dengan keluarga dan handai taulannya. Wah itu lebih menyakitkan hati.
Nah, makanya Yesuslah yang benar, sistem peradilan dan penanganan terhadap para
hukuman perlu mendapat perhatian yang lebih seksama. Bukankah sistem yang baik
akan memperkecil kejahatan yang ada? Dan pastinya, sistem yang baik akan
memberi kesempatan bagi yang jahat untuk menjadi baik.
Begitu pula dengan kerukunan umat beragama. Sia-sia
kita ngomong dan mengupayakan kerukunan bila di dalam hati masih melekat
“stigma negatif” terhadap agama atau kepercayaan yang berbeda dengan kita. Saya
prihatin melihat gereja dilarang beribadah karena persoalan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB). Menurut saya sangatlah wajar bila ijin mendirikan gedung usaha perlu dikaji secara
seksama, tetapi mendirikan gedung ibadah
proses perijinannya seharusnya bersifat praktis dan taktis, tanpa mereduksi
nilai-nilai yuridis tentunya.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak
untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan enam agama yang telah mendapat
pengakuan negara, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu
memiliki hak yang sama untuk beribadah kepada Tuhan serta menjalankan syariat
agamanya masing-masing. Menurut hemat saya, yang perlu mendapat perhatian
secara seksama adalah implementasi
dari agama tersebut, bukan institusinya.
Bila umat dari suatu institusi agama berbuat kejahatan, bukan institusinya yang
ditutup melainkan ajaran, pengajar atau pelaku agamanya yang perlu direvisi dan
ditindaklanjuti agar tetap konsisten dalam konstitusi dan panggilannya.
Kewajiban aparat terkaitlah yang melakukan pembinaan,
bukan pembinasaan!
Tampaknya “drama” perumpamaan
tentang lalang di antara gandum masih “to be continue” belum “the end” dan saya
yakin anda tidak beranjak dan mengganti channel
yang ada. Episode dilanjutkan kembali dengan tema rasa ingin tahu dari para
murid sehingga mereka meminta Yesus untuk menjelaskan lagi maksud dari
perumpamaan yang telah disampaikan-Nya (lihat Mat. 13:36-42). Dengan bahasa
yang lugas dan sederhana Yesus menjawab, bahwa: orang yang menabur benih baik
itu adalah diri-Nya. Ladang adalah dunia. Benih yang baik itu anak-anak
Kerajaan Allah dan lalang adalah anak-anak si jahat. Sementara musuh yang
menabur benih lalang itu adalah iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para
penuai adalah mailaikat Allah (lihat Mat. 13:37-39). Tampaknya jawaban Yesus
memberikan kejelasan, karena tidak ada pertanyaan lanjut yang dilontarkan oleh
murid-murid-Nya.
Ketiga, melalui perumpamaan ini, manusia diingatkan akan
adanya kelak suatu masa yang dinamakan akhir zaman. Seperti
kebanyakan kisah drama, di mana jagoannya selalu menang di bagian akhir (happy
ending). “Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari
dalam kerajaan Bapa mereka” (Mat. 13:43a). Episode akhir dari “drama”
perumpamaan tentang lalang di antara gandum, merupakan kisah tragis yang sangat
mencekam dan menakutkan tentang nasib akhir yang akan dialami oleh penabur
lalang beserta dengan kroni-kroninya (lihat Mat. 13:40-43).
Perihal “akhir zaman” ditanggapi oleh
masyarakat modern dengan beragam sikap. Ada kelompok masyarakat yang
mempercayai keberadaan dan realitas akhir zaman, tetapi salah dalam
penerapannya. Mereka sibuk mencari tahu perihal tanggal kepastian mengenai
peristiwa akhir zaman, padahal hanya Allah semata yang mengetahui kapan
kepastiannya? Kita harus meyakini bahwa akhir zaman pasti akan terjadi, tetapi
tidak ada seorang pun dapat memastikan tanggal kepastiannya. Bila ada yang
merasa dapat memastikannya, sesungguhnya orang itu adalah pendusta belaka!
Kelompok masyarakat lainnya, berusaha menolak
keberadaan dan realitas neraka dengan sikap yang berbeda. Yang bersikap agak
halus, akan berkata, “Allah itu ada, tetapi Ia adalah Allah yang penuh kasih
sehingga Ia tidak akan dan tidak mungkin menyuruh seseorang ke neraka.” Ada
juga yang bersikap mengejek dengan pongahnya sambil berkata, “Allah mungkin
ada, tetapi bodohlah untuk memikirkan tentang banyak sekali roh tanpa tubuh
yang tersiksa dalam suatu lautan api sesungguhnya di suatu tempat.” Dan yang
terang-terang menentang adanya neraka, seperti Ateis Robert G. Ingersoll dengan
sinis mengatakan, “Ide tentang neraka lahir dari keinginan untuk membalas
dendam serta kekejaman di satu pihak, dan kepengecutan di pihak lain... Aku
tidak menaruh respek kepada orang yang memberitakan hal tersebut... Aku tidak
menyukai doktrin ini, aku membencinya, aku tidak menghargainya, aku menentang
doktrin ini!” (H.L. Willmington, Eskatologi. Malang: Gandum Mas, 1994, hal. 332).
Manusia cendrung meragukan akan
sesuatu yang bersifat supra natural, mungkin karena tidak dapat dilihat secara
kasat mata. Tetapi apakah sesuatu yang bersifat supra natural itu sesungguhnya tidak ada, atau karena faktor tidak tahu? Apakah sesuatu yang tidak
dapat kita ketahui, itu pasti tidak ada? Apakah sesuatu yang tidak dapat kita
lihat, harus ditolak dan tidak perlu untuk dipercayai?
Ambillah satu contoh. Bisakah anda
memperlihatkan kepada saya letak hati nurani di dalam diri manusia, atau posisi
pikiran tepatnya terletak di mana? Saya yakin anda pasti dapat memastikan bahwa
otak berada di kepala, begitu pula dengan hati yang berada di bagian dalam
tubuh kita. Alangkah naifnya, bila anda tidak mempercayai adanya hati nurani
atau pikiran dalam diri manusia sehingga mengatakan bahwa keberadaannya tidak
ada. Lebih naif lagi, bila anda mengartikan bahwa itu berupa kiasan yang harus
ditafsirkan secara simbolis atau alegori. Mungkin didasari akan hal itulah,
maka Yesus mengakiri perumpamaan-Nya dengan kalimat seru, “Siapa bertelinga,
hendaklah ia mendengar!” (lihat Mat. 13:43b).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar