Minggu, 08 Juli 2012

Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE - Haruskah Lalang Di Cabut?


Haruskah Lalang Dicabut?
(Refleksi Perumpamaan Tentang Lalang Di antara Gandum)


Yesus sangat perhatian dan piawai dengan dunia flora. Banyak perumpamaan yang dipakai-Nya berhubungan dengan tanaman. Salah satu bagian dari kitab Injil di mana Yesus banyak membicarakan tentang tanaman ada di dalam Matius pasal 13. Perumpamaan tentang lalang di antara gandum tampaknya mendapat perhatian khusus dari Yesus sehingga Ia menjadikan sebagai materi pelajaran yang harus disampaikan-Nya kepada halayak ramai.
Skenario dari narasi perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus adalah sebagai berikut. Di awal episode, Yesus mengumpamakan perihal Kerajaan Sorga bagaikan penabur yang menabur benih yang baik di ladangnya. Tetapi saat malam hari tiba, di kala orang pulas tertidur, datanglah musuh dari tuan pemilik ladang untuk menabur benih lalang di ladang gandum miliknya (Mat. 13:24-25). Kemudian episode dilanjutkan dengan munculnya ke “pentas drama” para pekerja yang siap melontarkan pertanyaan kepada tuan sang pemilik ladang gandum. Adalah hal yang menarik untuk mencermati pertanyaan yang diajukan oleh para hamba tuan ladang, karena anda akan menemukan jawaban yang menakjubkan. Mari kita cermati kelanjutan ceritanya.
Kehadiran Lalang di tengah ladang gandum tampaknya menimbulkan dua pertanyaan. Pertama,  perihal, “dari manakah lalang itu?” (lihat Mat. 13:27). Pertanyaan secara lugas dijawab, bahwa: benih lalang ditaburkan pada malam hari saat orang tertidur, tentu sebagai maksud dari kejahatan terselubung (Mat. 13:25). Penegasan Yesus kian menguatkan fakta bahwa lalang itu bukan berasal dari kebaikan, tapi dari kejahatan dan benihnya ditaburkan di ladang gandum oleh para musuh (lihat Mat. 13:25, 28). Walaupun gandum dan lalang sama-sama sebagai tanaman rumput serta berada di lingkungan yang sama, tetapi mereka berbeda dalam fungsi serta asal muasalnya.
Gandum dan Lalang adalah dua tanaman yang sangat mirip, tetapi sebenar-nya sangat berbeda. Serupa dari sisi jenisnya, tetapi tak sama dari sisi fungsinya. Gandum adalah makanan pokok yang sangat berguna bagi manusia, sedangkan lalang sama sekali tidak berguna. Lalang hanya menjadi makanan yang hanya diberikan untuk binatang, bukan untuk manusia.
Gandum adalah representasi dari manusia yang kehadirannya memberi dampak positif bagi lingkungannya, berbeda dengan lalang yang fungsinya merusak dan meresahkan lingkungan di mana ia berada. Gandum menggambarkan kebaikan, sementara lalang adalah gambaran kejahatan. Gandum identik dengan berkat atau sesuatu yang berfaedah, sedangkan lalang identik dengan laknat atau sesuatu yang tidak berfaedah.
Lalang hidup dengan cara lebih banyak menyerap sari makanan dari tanah, sehingga berdampak mengganggu pertumbuhan gandum. Hal ini hendak menegaskan bahwa lalang mengidentifikasikan pribadi yang memiliki sifat serakah dan tamak karena tidak mampu untuk berpuas diri. Sebaliknya gandum mengidentifikasikan pribadi yang memiliki sifat mengalah dan mampu untuk mencukupkan diri.
Sayangnya lalang dan gandum baru dapat dibedakan ketika bulir-bulirnya muncul. Hal ini sebagai sinyalemen, terkadang sulit membedakan antara yang baik dan jahat, seperti susahnya membedakan antara lalang dengan gandum. Tetapi ada waktunya di mana “bulir-bulir gandum” atau kebenaran akan muncul, sehingga terlihat jelas mana yang gandum dan mana yang lalang. 
Umat Allah yang digambarkan sebagai gandum harus makin bertambah kuat agar tidak terjangkit “virus lalang” yang berada di sekitarnya. Jangan pusingkan kehadiran lalang, tetapi pikirkanlah bagaimana harus bertumbuh agar makin berkualitas, berdampak, teruji dan terpercaya. Tuhan tidak suruh gandum untuk menghancurkan atau mencabut lalang dari lingkungan di mana ia berada. Tuhan juga tidak memerintahkan malaikat untuk datang mencabutinya. Lalang bukan untuk dimusuhi apalagi diperangi, melainkan dikasihi dan dihadapi dengan penuh kesabaran. Meskipun lalang harus tumbuh di antara gandum, tetapi gandum harus makin bertumbuh kuat dan meranum.
Pertanyaan kedua, “Jadi maukah tuan supaya kami mencabut lalang itu?” (lihat Mat. 13:28). Menariknya dalam perumpamaan ini, ditegaskan pelarangan untuk mencabutnya sebagai maksud untuk menjaga agar gandum tidak sampai ikut tercabut (Mat. 13:29). Karena itulah, Yesus membiarkan agar lalang dan gandum bertumbuh secara bersama hingga waktu menuai tiba (Mat. 13:30).
Menceramati secara seksama, saya menemukan tiga kebenaran mendasar yang terkandung dalam perumpaan tentang lalang di antara gandum. Pertama, melalui perumpamaan ini, Yesus menetapkan suatu larangan di mana lalang tidak boleh dicabut dari ladang gandum. Lalang dan gandum harus dibiarkan hidup bersama di ladang yang sama. Artinya, kejahatan itu bukan untuk dicabut atau dilenyapkan dari dunia ini atau dari lingkungan di mana orang percaya berada, tetapi diredam atau diantisipasi laju dan modus kejahatannya. Kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan. Pembalasan kejahatan adalah hak prerogative Allah, bukan hak yang harus dilakukan oleh manusia (band. Rm. 12:17-18). Kita harus hidup dalam konstitusi dan umat Allah harus menyerahkan kasus kejahatan dengan hukum atau konstitusi yang sudah berlaku dan memberikan wewenang kepada pelaku hukum untuk menindaknya.
Setelah manusia jatuh dalam dosa, kejahatan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tetapi haruslah kita sadari bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan atau membuat kejahatan di dunia ini. Seperti halnya asal dan tujuan lalang tersebut, maka kejahatan datangnya dari si jahat, bukan dari Allah. Lalang adalah rekan sekerja dan menjadi alat yang dipakai oleh si jahat untuk membuat dunia ini penuh dengan kejahatan. Selama iblis atau si jahat masih ada di muka bumi ini, maka kejahatan itu pastilah selalu ada. Bila anda ingin melenyapkan kejahatan dari dunia ini maka iblis yang seharusnya dilenyapkan, bukan lalang atau manusia yang berlaku jahat oleh karena tipu daya dari si jahat.
Mungkin anda berkata, mengapa Tuhan tidak turun tangan untuk melenyapkan kejahatan dari dunia ini? Sifat utama Allah adalah menyelamatkan, bukan melenyapkan atau membinasakan. Oleh karena kasih setia-Nya sehingga Ia mau mengalah, tetapi tidak akan pernah terkalahkan. Sepertinya Tuhan membiarkan kejahatan itu ada, karena sesungguhnya Dia hendak menyatakan kebaikan di tengah-tengah kejahatan yang tengah melanda.
Pelarangan mencabut lalang sebagai bukti bahwa Allah menentang arogansi atau “pencabutan” hak azasi manusia. Di negara yang mengusung faham demokrasi, arogansi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah tindakan biadab dan tidak manusiawi. Marilah kita masuk kepada realita kehidupan. Ketika seorang pendeta melakukan kejahatan moral, biasanya ada dua keputusan yang mana salah satunya akan dijatuhkan kepadanya. Pertama, jabatan atau posisinya sebagai pendeta dicabut, maka secara otomatis fungsinya sebagai pendeta pun dinon-aktifkan, atau istilah umumnya dipecat. Kedua, jabatan atau posisinya sebagai pendeta masih diberlakukan, tetapi fungsinya yang dinon-aktifkan untuk sementara waktu hingga konsekuensi hukumannya berakhir, atau istilah umumnya diskor. Bila anda diberi wewenang untuk memutuskan perkara ini, jangan pernah abaikan pengajaran Yesus tentang perumpamaan lalang di antara gandum.
Begitu pula ketika orang yang kita muridkan berbuat dosa. Apakah statusnya sebagai murid dicabut, lalu ia dipecat sehingga tidak berhak untuk mengikuti kelas pemuridan? Atau, statusnya masih tetap sebagai murid dan berhak penuh untuk mengikuti kelas pemuridan, tetapi diberi disiplin agar ia menyadari perbuatannya yang tidak mencerminkan keberadaannya sebagai seorang murid Kristus? Di antara dua kasus di atas, saya sangat menyetujui keputusan yang diambil adalah pilihan kedua. Bukankah seperti itu makna yang terkandung dalam perumpamaan ini?
Kedua, melalui perumpamaan ini, manusia diberi suatu kesempatan untuk memposisikan diri sebagai lalang atau gandum? Pantaslah bila Yesus dikatakan sebagai Guru agung. Ia bukan semata cakap dalam memilih materi pelajaran dan trampil dalam penguasaan metode pengajaran, tetapi kehidupan-Nya juga adalah ajaran yang hidup. Yesus tidak hanya sekedar berwacana, tetapi juga menerapkan apa yang dikatakan-Nya, seperti yang telah diperbuat kepada seluruh murid-Nya, khususnya kepada Yudas Iskariot.
Dengan kemaha-tahuan-Nya pastilah Yesus mengetahui bahwa Yudas adalah lalang, tetapi lalang itu dibiarkan-Nya berada bersama dengan gandum dalam ladang yang sama. Yesus menegur, menyindir, bahkan menghardik perbuatan Yudas sebagai suatu disiplin, tetapi bersamaan dengan itu pula Yudas diberi kesempatan untuk berubah dan menyesali perbuatannya. Apakah Yesus gagal karena Yudas murid-Nya itu tidak mau berubah? Tidak! Pada akhirnya, Yudas sangat menyesali perbuatan dosanya, bahkan ia mengembalikan uang dari hasil penghianatannya (lihat Mat. 27:3-5). Yang sangat disayangkan bukan penyesalan Yudas yang terlambat, karena penjahat yang disalib bersama Yesus juga bertobat mendekati saat kematiannya, tetapi yang sangat disesali adalah tindakan bunuh diri yang dilakukannya (band. Kis. 1:18).
Negara kita Indonesia masuk dalam lima besar negara yang tertinggi tingkat korupsinya. Saya sangat menyambut baik upaya pemerintah untuk memberantas korupsi, tetapi kalau sistem kerjanya tidak diperbaiki, maka korupsi akan terus terjadi, bahkan modus operandinya kian bertambah canggih. Melalui perumpamaan ini Yesus Kristus sama sekali tidak menentang hukum yang harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, tetapi memberi penekanan bahwa yang harus mendapat perhatian dan pengupayaan secara intensif adalah “sistem pengolahan ladang” dan “perawatan gandum yang ada di ladang.” Hal seperti itulah yang menginspirasi lahirnya pernyataan bijak seperti, “There’s no good society, without good men” (tanpa manusia baik, tidak akan pernah tercipta pemerintahan yang baik) atau “the right man in the wrong place” (manusia benar di tempat yang salah). Karena itulah, sistem yang dipergunakan perlu mendapat perhatian secara seksama.
Secara pribadi, ada dua hal di mana saya bersikap radikal, tentunya sikap radikal ini didasari oleh keyakinan saya terhadap Alkitab yang saya percayai sebagai kebenaran mutlak. Pertama, menentang keras upaya yang bersifat korupsi karena itu perbuatan yang menyengsarakan masyarakat banyak. Kedua, menentang keras diberlakukannya hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan kejahatan, termasuk juga koruptor. Mungkin anda bertanya, lewat jalur mana anda menentangnya? Ada wadah khusus yang disediakan bagi saya untuk menyatakan kebenaran yang saya yakini. Bisa, melalui mimbar saat saya berkotbah atau melalui kampus tempat di mana saya mengajar atau melalui tulisan yang sedang anda baca saat ini. Tetapi belum tuntas mengenai apa yang hendak saya sampaikan. Pastinya, saya akan lebih bersikap radikal bila koruptor yang tidak dihukum mati itu bisa seenaknya keluar dari penjara hanya semata untuk menyaksikan pertandingan tennis atau kongkow dengan keluarga dan handai taulannya. Wah itu lebih menyakitkan hati. Nah, makanya Yesuslah yang benar, sistem peradilan dan penanganan terhadap para hukuman perlu mendapat perhatian yang lebih seksama. Bukankah sistem yang baik akan memperkecil kejahatan yang ada? Dan pastinya, sistem yang baik akan memberi kesempatan bagi yang jahat untuk menjadi baik.
Begitu pula dengan kerukunan umat beragama. Sia-sia kita ngomong dan mengupayakan kerukunan bila di dalam hati masih melekat “stigma negatif” terhadap agama atau kepercayaan yang berbeda dengan kita. Saya prihatin melihat gereja dilarang beribadah karena persoalan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Menurut saya sangatlah wajar bila ijin mendirikan gedung usaha perlu dikaji secara seksama, tetapi mendirikan gedung ibadah proses perijinannya seharusnya bersifat praktis dan taktis, tanpa mereduksi nilai-nilai yuridis tentunya.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan enam agama yang telah mendapat pengakuan negara, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu memiliki hak yang sama untuk beribadah kepada Tuhan serta menjalankan syariat agamanya masing-masing. Menurut hemat saya, yang perlu mendapat perhatian secara seksama adalah implementasi dari agama tersebut, bukan institusinya. Bila umat dari suatu institusi agama berbuat kejahatan, bukan institusinya yang ditutup melainkan ajaran, pengajar atau pelaku agamanya yang perlu direvisi dan ditindaklanjuti agar tetap konsisten dalam konstitusi dan panggilannya. Kewajiban aparat terkaitlah yang melakukan pembinaan, bukan pembinasaan!
            Tampaknya “drama” perumpamaan tentang lalang di antara gandum masih “to be continue” belum “the end” dan saya yakin anda tidak beranjak dan mengganti channel yang ada. Episode dilanjutkan kembali dengan tema rasa ingin tahu dari para murid sehingga mereka meminta Yesus untuk menjelaskan lagi maksud dari perumpamaan yang telah disampaikan-Nya (lihat Mat. 13:36-42). Dengan bahasa yang lugas dan sederhana Yesus menjawab, bahwa: orang yang menabur benih baik itu adalah diri-Nya. Ladang adalah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan Allah dan lalang adalah anak-anak si jahat. Sementara musuh yang menabur benih lalang itu adalah iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai adalah mailaikat Allah (lihat Mat. 13:37-39). Tampaknya jawaban Yesus memberikan kejelasan, karena tidak ada pertanyaan lanjut yang dilontarkan oleh murid-murid-Nya.
            Ketiga, melalui perumpamaan ini, manusia diingatkan akan adanya kelak suatu masa yang dinamakan akhir zaman. Seperti kebanyakan kisah drama, di mana jagoannya selalu menang di bagian akhir (happy ending). “Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam kerajaan Bapa mereka” (Mat. 13:43a). Episode akhir dari “drama” perumpamaan tentang lalang di antara gandum, merupakan kisah tragis yang sangat mencekam dan menakutkan tentang nasib akhir yang akan dialami oleh penabur lalang beserta dengan kroni-kroninya (lihat Mat. 13:40-43).
Perihal “akhir zaman” ditanggapi oleh masyarakat modern dengan beragam sikap. Ada kelompok masyarakat yang mempercayai keberadaan dan realitas akhir zaman, tetapi salah dalam penerapannya. Mereka sibuk mencari tahu perihal tanggal kepastian mengenai peristiwa akhir zaman, padahal hanya Allah semata yang mengetahui kapan kepastiannya? Kita harus meyakini bahwa akhir zaman pasti akan terjadi, tetapi tidak ada seorang pun dapat memastikan tanggal kepastiannya. Bila ada yang merasa dapat memastikannya, sesungguhnya orang itu adalah pendusta belaka!
Kelompok masyarakat lainnya, berusaha menolak keberadaan dan realitas neraka dengan sikap yang berbeda. Yang bersikap agak halus, akan berkata, “Allah itu ada, tetapi Ia adalah Allah yang penuh kasih sehingga Ia tidak akan dan tidak mungkin menyuruh seseorang ke neraka.” Ada juga yang bersikap mengejek dengan pongahnya sambil berkata, “Allah mungkin ada, tetapi bodohlah untuk memikirkan tentang banyak sekali roh tanpa tubuh yang tersiksa dalam suatu lautan api sesungguhnya di suatu tempat.” Dan yang terang-terang menentang adanya neraka, seperti Ateis Robert G. Ingersoll dengan sinis mengatakan, “Ide tentang neraka lahir dari keinginan untuk membalas dendam serta kekejaman di satu pihak, dan kepengecutan di pihak lain... Aku tidak menaruh respek kepada orang yang memberitakan hal tersebut... Aku tidak menyukai doktrin ini, aku membencinya, aku tidak menghargainya, aku menentang doktrin ini!” (H.L. Willmington, Eskatologi. Malang: Gandum Mas, 1994, hal. 332).
            Manusia cendrung meragukan akan sesuatu yang bersifat supra natural, mungkin karena tidak dapat dilihat secara kasat mata. Tetapi apakah sesuatu yang bersifat supra natural itu sesungguhnya tidak ada, atau karena faktor tidak tahu? Apakah sesuatu yang tidak dapat kita ketahui, itu pasti tidak ada? Apakah sesuatu yang tidak dapat kita lihat, harus ditolak dan tidak perlu untuk dipercayai?
Ambillah satu contoh. Bisakah anda memperlihatkan kepada saya letak hati nurani di dalam diri manusia, atau posisi pikiran tepatnya terletak di mana? Saya yakin anda pasti dapat memastikan bahwa otak berada di kepala, begitu pula dengan hati yang berada di bagian dalam tubuh kita. Alangkah naifnya, bila anda tidak mempercayai adanya hati nurani atau pikiran dalam diri manusia sehingga mengatakan bahwa keberadaannya tidak ada. Lebih naif lagi, bila anda mengartikan bahwa itu berupa kiasan yang harus ditafsirkan secara simbolis atau alegori. Mungkin didasari akan hal itulah, maka Yesus mengakiri perumpamaan-Nya dengan kalimat seru, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (lihat Mat. 13:43b).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar