Kamis, 05 Juli 2012

Kok Allah Menyesal - Pdt. Rudy R. Sirait, S.Th, MA.CE


Kok Allah Menyesal Menjadikan Manusia?


“.. Maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya” (Kejadian 6:6)

            Ada pernyataan berbunyi demikian, “penyesalan selalu datang belakangan. Maksudnya ialah, seseorang akan menyesal terhadap sesuatu karena ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa sesuatu itu akan terjadi demikian. Bila seseorang mengetahui pada awalnya, maka apapun yang akan terjadi, ia tidak akan pernah menyesalinya. Hal inilah yang diartikan sebagai penyesalan.
       Apa maksud dari ungkapan, “Allah Menyesal” dalam ayat ini? Apa memang Allah tidak dapat mengetahui apa yang terjadi kelak terhadap manusia sehingga Ia menyesal? Bila anda beranggapan demikian, maka anda sudah menyatakan bahwa Allah itu bukanlah Allah yang maha tahu! Lalu, bagaimana bila dikaitkan dengan pernyataan Paulus dalam Roma 11:29, bahwa: “Ia tidak menyesali. Apakah ada indikasi bahwa Ia adalah Allah yang tidak konsisten dengan pernyataan-Nya? Apakah memang pantas bila kita mengatakan bahwa ayat-ayat di dalam Alkitab itu kontradiksi satu sama lain. Benarkah demikian?
     Dalam kelas Antropologi di Sekolah Tinggi Theologi, saya selalu mengajarkan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (band. Kej. 1:26). Itu berarti ada kesamaan antara manusia dengan Allah, bukan? Kesamaan itu tentunya bukan kesamaan jasmani, karena Allah itu adalah Roh. Kesamaan antara Allah dan manusia adalah kesamaan moral, sosial dan mental. Tetapi kenyataannya, manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah itu malah memilih untuk hidup tidak bermoral dan berdosa di mata Allah.
     Hal itu berawal dari dosa amoral yang dilakukan oleh Adam dan Hawa (Kej. 3:18-19), kemudian dilanjutkan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh keturunannya, yakni Kain (Kej. 4:6-12). Ini pembunuhan terbesar dan yang pertama di dunia karena menelan korban seperempat penduduk bumi (karena memang hanya empat orang jumlah manusia di bumi pada saat itu. Maaf ini hanya kelakar). Generasi berikutnya, Lamekh juga menjadi pembunuh (Kej. 4:23). Alkitab menginformasikan bahwa eskalase kejahatan manusia terus mengalami peningkatan secara signifikan (Kej. 6:5), seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia pada saat itu (Kej 6:1). Dengan kondisi kehidupan manusia seperti itu, maka akibatnya Allah berkata, “menyesal telah menjadikan manusia.”
     Guna pemahaman secara komprehensif atas pernyataan ”Allah menyesal” dalam Kejadian 6:6 ini, sebaiknya kita mencermati alur gagasannya terlebih dahulu. Pertama, gagasan dalam Kejadian 6:1-4: Kejahatan manusia adalah suatu kenyataan. Kedua, gagasan dalam kitab Kejadian 6:5-7: Keadilan Allah atas kejahatan adalah suatu kenyataan. Dan ketiga, gagasan dalam kitab Kejadian 6:8: Kasih Allah atas kejahatan manusia adalah suatu kenyataan.
     Kejadian 6:1-4, merupakan eksposisi atas penjelasan tentang kejahatan yang manusia lakukan di muka bumi. Alkitab memberi penegasan bahwa kejahatan manusia semakin bertambah banyak (lihat Kej. 6:5). Selain kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kain dan Lamekh (band. Kej. 4:6-12, 23), salah satu kejahatan yang telah dilakukan oleh manusia adalah perkawinan campur di antara garis keturunan Ilahi dan nir Ilahi (band. Kej. 6:2).
     Secara jelas kitab Kejadian mengungkapkan bahwa kejahatan anak-anak Allah bukan sekedar perkawinan campur semata, tetapi juga berpoligami. Pernyataan, “siapa saja yang disukai” dalam Kejadian 6:2, menegaskan bahwa perkawinan secara poligami merupakan kejahatan besar di mata Allah, terlebih lagi bila berpoligami dengan garis keturunan yang berbeda. Mengapa demikian? Karena Allah mendesign perkawinan atas umat-Nya secara monogami dan sepadan dalam pengertian di sini seiman dan memiliki garis keturunan Ilahi yang sama. Hal ini kian dipertegas dengan ungkapan satu daging dalam Kejadian 2:24 yang mana istilah ini hanya dipakai untuk hubungan suami istri yang monogami (band. Mat. 19:5; Ef. 5:31). Kemudian, kata “kejahatan” dalam Kejadian 6:5, diterjemahkan dari kata Ibrani: “ra” yang mana kata ini  menunjuk kepada tingkah laku yang tidak diperkenankan oleh Tuhan (band. Bil. 32:13; Ul. 4:25; 9:18; Hak. 2:11; 3:7, 12). Kejahatan seperti itulah yang dimaksudkan sebagai dosa terhadap Allah yang diungkapkan secara tegas oleh Yusuf ketika isteri Potifar mencoba mengajaknya untuk berzinah (baca Kej. 39:9).
     Bagian kedua dari alur gagasan Kejadian 6:5-7, di awali dengan inisiatif Allah dalam melihat dan meresponi kejahatan yang telah dilakukan oleh manusia. Kata "melihat" dalam Kejadian 6:5 diterjemahkan dari kata Ibrani "raah" yang berarti memandang dan mempertimbangkan sikap terciptanya suatu dosa. Maksudnya adalah, Allah tidak sewenang-wenang menjatuhkan murka-Nya, tetapi terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dan pengamatan terhadap dosa yang sudah diperbuat oleh manusia itu sebelum menjatuhkan hukuman (band. Kej 11:5; Kel. 3:7, 9; 4:31).
     Sebagai akibat dari kejahatan yang telah diperbuat oleh manusia, di mana Allah melihat sendiri perbuatan dosa umat-Nya, maka menyesal Allah (band. Kej. 6:6). Apa maksudnya Allah menyesal dalam hal ini? Kata “Allah menyesal” sering menjadi diskusi hangat. Di sisi lain ada ungkapan dalam Perjanjian Lama bahwa Allah tidak pernah menyesal (lihat I Sam. 15:29; Bil 23:19; Yer. 4:28; Yeh. 14:24). Tetapi dalam Kejadian 6 atau bagian lain berulang-ulang dikatakan bahwa Allah menyesal (band. Kel. 32:14; I Sam. 15:11, 35; II Sam. 24:16; Yer. 18:8,10; 26:19; 42:10; Am. 7:3,6; Yun. 3:10; 4:2 dan I Taw. 21:15). Oleh karena itu marilah kita cermati lebih lanjut secara seksama.
     Kata “menyesal” dalam ayat 6, diterjemahkan dari kata Ibrani “wayyinakhem” dengan stem Niphal imperatif, yang secara gramatikal memiliki pengertian bahwa Allah menyakiti atau menyedihkan hati-Nya. Allah sangat menderita oleh karena dosa yang telah dan tengah diperbuat oleh umat-Nya. Dan kesedihan atau kesakitan yang dialami oleh Allah itu disebabkan oleh dosa manusia yang memperburuk dan merusakkan ciptaan-Nya (band. Yes 43:24b), membuat Ia menyesal. Jadi, kata “menyesal” dalam Kejadian 6:6-7 bukan berarti Allah merubah pikiran atau kapok atau tobat atau kata yang sejenis dengan itu. Dalam teks asli, kata ini menggambaran perihal seseorang yang sakit perut atau eneg atau yang sejenis dengan itu. Akibat melihat kejahatan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, maka Allah menjadi sakit perut atau eneg, seperti itulah penggambarannya. Dalam Perjanjian Baru, kata "menyesal" dalam ayat ini sejajar artinya dengan apa yang diungkapkan oleh Paulus, yakni "mendukakan Roh Kudus" (band. Ef. 4:30).
     Penyesalan Allah selalu menunjuk kepada keadilan dan kasih-Nya. Allah yang sebagai hakim itu (band. Kej. 16:5; I Sam. 24:13; Mzm. 7:9; 50:6; Yes. 33:22) akan membalaskan kejahatan yang setimpal kepada umat-Nya. Allah tidak dapat kompromi dengan dosa karena Ia sendiri sebagai penuntut segala macam dosa – pembalas (band. Ul. 32:35, 41; Mzm. 94:1; Yes. 34:8, 35:4). Ia menciptakan manusia dalam keberadaan sungguh amat baik (Kej. 1:31). Tentunya, Allah mengharapkan manusia hidup secara baik dalam pandangan-Nya. Manusia diciptakan oleh Allah tanpa dosa, ekspektasinya agar manusia tidak hidup dalam dosa. Dosa itulah yang dibenci oleh Allah. Dosa itulah yang membuat manusia terpisah dan menerima hukuman Allah. Dan dosa itu pulalah yang membuat Allah “eneg” atau menjadi “sakit perut.
     Mungkin timbul kesan negatif, apakah Allah tidak mengasihi manusia ciptaan-Nya sehingga Ia memberi penghukuman? Tentulah, Allah tetap mengasihi manusia ciptaan-Nya, tetapi Ia juga adalah Allah yang tidak terikat kepada ciptaan-Nya. Karena itulah, maka penghukuman Allah tidak dapat dielakkan. Saat penghukuman dijatuhkan maka secara otomatis Allah merasa sakit atau sedih melihat manusia menerima hukuman daripada-Nya bersamaan dengan rasa sakit yang dirasakan-Nya akibat kejahatan yang diperbuat oleh manusia yang sangat dikasihi-Nya itu. Jadi, penghukuman Allah terhadap manusia berdosa didasari oleh kasih dan keadilan Allah. Walter Lempp menanggapi hal ini dengan berkata: Tetapi oleh sebab rencana-Nya yang baik untuk manusia itu diganggu oleh manusia, Allah marah, oleh sebab Ia mengasihi manusia. Hukuman-Nya hanya merupakan satu segi dari kasih sayang-Nya.
     Bukti bahwa Allah tetap mengasihi manusia dapat di lihat dengan keberadaan Nuh. Nuh di mata Allah sebagai orang benar dan mendapat kasih karunia Allah (band. Kej. 6:9; 7:1). Di tengah situasi dan kondisi yang penuh dengan kejahatan, Nuh tetap hidup benar di mata Tuhan. Situasi dan kondisi tidak mempengaruhinya, malah ia berusaha mempengaruhi orang agar meninggalkan kejahatan, meskipun ia diolok dan direndahkan. Hingga pada akhirnya, melalui Nuh peradaban dan kelangsungan manusia boleh kembali tercipta. Penyelamatan terhadap Nuh yang merupakan kasih karunia, membuktikan bahwa Allah tetap mengasihi manusia ciptaan-Nya. Ia membenci dosa manusia, tetapi Ia mengasihi pribadi manusia berdosa. Bilamana manusia berdosa mau bertobat dan mengakui segala dosanya, maka Allah akan mengampuni dan memulihkannya (band. II Taw. 7:14; I Yoh. 1:9).
     Suatu hari seorang rekan bertanya kepada saya dengan sebuah pertanyaan yang menarik untuk dicermati, “Bisa atau tidak orang Kristen hidup kudus?” Spontan saya menjawab, “bisa!” Kalau tidak bisa untuk apa Allah memerintahkan agar kita hidup kudus? Lalu ia kembali bertanya, “Bisa atau tidak orang Kristen tidak berdosa?” Terdiam sejenak untuk merenungi pertanyaannya, lalu saya menjawab, “tidak bisa! Karena pada hakekatnya hanya manusia Yesus Kristus dari Nazareth yang sama sekali tidak berdosa.
     Lalu kedua pertanyaan di atas mengingatkan saya tentang gambaran yang dipakai oleh Petrus perihal “babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya” (lihat 2 Ptr. 2:22). Saya ajak anda untuk melihat perbandingan antara babi dan domba. Suatu ketika domba dan babi yang tengah menapaki perjalanan jatuh terjerembab ke dalam kubangan lumpur akibat dari kecerobohannya.
     Respon dari kedua binatang yang jatuh ke dalam kubangan lumpur itu sangat perlu untuk kita renungkan. Ketika domba jatuh ke dalam kubangan lumpur, maka secara spontan ia akan berusaha untuk ke luar dari kubangan itu karena domba adalah binatang yang tidak suka dengan hal yang kotor. Lain halnya dengan binatang babi. Babi malah asyik menikmati dan sama sekali tidak berinisiatif untuk ke luar dari kubangan lumpur itu karena memang babi adalah binatang yang suka dengan kubangan lumpur yang kotor. Kemungkinan itu yang menjadi alasan kenapa gereja Tuhan digambarkan sebagai Domba, bukan Babi! Jadi, gereja Tuhan bisa saja jatuh dalam dosa, tetapi ia akan segera bangkit dan tidak tenggelam dalam kubangan dosa karena pada dasarnya ia sudah tidak terikat lagi dengan belenggu dosa. Kalaupun ia terjatuh ia tidak akan tergeletak.
     Apa pelajaran rohani yang dapat kita petik melalui topik pembahasan ini? Ada dua hal yang perlu untuk kita hayati secara seksama. Pertama, bila saat ini kita terjatuh dalam kubangan lumpur dosa, maka jangan menunda waktu, segeralah bangkit untuk keluar, bila tidak maka Allah akan menyesaljadinya.
     Kedua, jangan coba menjalin cinta dengan seseorang yang tidak seiman, karena tidak mungkin gelap dan terang dapat bersatu. Mungkin anda berkata, “kan saya hendak memenangkan jiwa?” Sebaiknya jangan coba bermain api, takutnya anda terbakar nantinya. Klaim lah firman Tuhan, bahwa: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Pastilah, Tuhan menciptakan manusia itu untuk berpasangan-pasangan, terkecuali bagi mereka yang terpanggil untuk hidup melajang – calibacy (band.1 Kor. 7:7-8; Mat. 19:12). Singkat kata, jalinlah cinta dan nikahilah seseorang yang hidup takut akan Tuhan, bukan karena bebet, bobot dan bibitnya. Niscahya, anda akan merasakan nikmatnya pernikahan yang luhur dan akbar ini.
     Di dasari oleh kasih, maka sekitar dua ribu tahun yang lalu Allah menjadi manusia dan mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita. Karena panjang dan dalam kasih-Nya maka sepertinya Allah tidak peduli atas dosa yang kita perbuat. Tetapi bila kita terus menerus mengeraskan hati, maka ada saatnya Allah akan “menyesal” sehingga Ia menyatakan keadilan-Nya dengan menjatuhkan penghukuman atas dosa yang kita perbuat. Oleh karena itu berjaga-jagalah sebab “ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup” (Ibr. 10:32).

4 komentar:

  1. Two Thumbs Up..

    Kalau bisa pak, warna dari background dan tulisannya dibuat lebih ramah/sedap di pandang, kalau hitam dan tulisan putih agak sakit kalau di buat baca panjang2 :D

    BalasHapus
  2. setuju sama atas....mata agak gimana gitu...anyway good writting pak Rudy. Ayat ini sering dipakai umat lain utk "menyerang" kebenaran alkitab

    BalasHapus
  3. terima kasih atas tulisannya pak, sangat membantu untuk lebih memahami ayat dalam kejadian 6:6

    BalasHapus
  4. maaf pak .Tuhan menciptakan manusia itu untuk berpasangan-pasangan, terkecuali bagi mereka yang terpanggil untuk hidup melajang – calibacy (band.1 Kor. 7:7-8; Mat. 19:12)Allah menciptakan selalu berpasangan .jadi menurut saya ada prilaku baik pasti ada perilaku buruk .Tidak mungkun ALLAH menyesal atas ciptaannya maaf saya hanya kutip dari ayat yang ada diatas

    BalasHapus